MI NOR RAHMAN NEWS –
إِلٰـهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً# وَلاَ أَقْوٰى عَلَى نَارِ الْجَحِيْم
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim
فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِي # فَإنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar
ذُنُوْبِي مِثْلُ أَعْدَادٍ الرِّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالْجَلاَلِ
Majalah Tebuireng
Iklan Tebuireng Online
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذَنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya
إِلٰـهِي عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاك
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni,
Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Bait syair indah di atas tentu sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan biasanya melantunkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian dengan lagu dan irama yang syahdu. Di Berbagai kaset dan album religi, beberapa penyanyi bernafaskan Islam juga melantunkan lagu ini.
Konon, kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh jenaka yang fenomenal, yaitu Abu Nawas. Ia adalah salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik pada masa Abbasiyah. Abu Nawas juga muncul dalam kisah 1001 Malam, kumpulan kisah tiga peradaban, Arab, Persia, dan India.
Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor. Cerita-ceritanya humornya juga cukup menghibur banyak kalangan di belahan dunia. Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf, sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun ar Rasyid di Baghdad (806-814 M).
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang), dengan darah Arab dari ayah dan darah Persia dari ibu mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Hani al Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya’qub Al-Hadrami. Sementara dalam Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad As-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam al Wasith fi al Adab al ‘Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya’irul Bilad).
Kepenyairannya telah mempengaruhi jalan hidupnya. Sungguh pun sejak kecil mendapat pendidikan agama yang baik, ternyata Abu Nawas tampil sebagai seorang penyair yang “hura-hura”. Kehidupan istana dan segala gramornya telah mempengaruhi gaya hidupnya yang foya-foya, mebuk-mabukkan, dan maksiat. Ia salah seorang penganut faham hedonisme, yaitu faham yang lebih mengutamakan kesenangan dunia semata-mata. Lidahnya sering terpeleset. Tidak segan-segan Abu Nawas mempelesetkan ayat-ayat Al-Quran. Dia pun, karena ulahnya itu pernah diajukan ke pengadilan, karena tuduhan menghina Al-Qur’an. Salah satu bait syair yang dinilai menghujat Al-Quran itu adalah sebagai berikut:
Biarlah mesjid-mesjid itu dipenuhi oleh orang yang shalat
Ayolah kita minum khamer sepuasnya
Tuhan pun tak pernah mengatakan “Neraka Wail bagi para pemabuk”
Tuhan hanya berfirman “Neraka wail bagi orang yang shalat”.
Dengan sikapnya yang keterlaluan itu menimbulkan kemarahan umat. Abu Nawas dipandang telah melecehkan agama dan akan dijatuhi hukuman mati. Beruntunglah pada saat itu khalifah yang berkuasa, Harun ar Rasyid yang bijaksana memberi grasi pada Abu Nawas dan masih memberikan kesempatan taubat.
Abu Nawas termasuk seorang penyair yang bergajul, namun sungguh menarik pada akhir hayatnya ia bertaubat dari segala dosa-dosanya. Ia mengaku secara tulus di hadapan Tuhan tentang dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Pengakuan tersebut disenandungkan lewat sebuah syair di atas.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.
Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Hidup di penjara, telah menjadi titik balik kehidupannya. Selama mendekam di balik jeruji besi, syair-syair Abu Nawas berubah menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa penhambaan yang sungguh dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun ar Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi, ia menemukan jalan terang, menjadi sufi.
Ada versi lain tentang asal muasal pertaubatan Abu Nawas. Pribadinya yang urakan, bandel, tidak bermoral, dan tidak taat pada perintah agama, menjadikan Abu Nawas diasingkan dari kalangan agamawan dan kaum beradab lainnya. Hal itu dilakukan sampai pada suatu malam ganjil atau malam Qadar di bulan Ramadan.
Ketika masuk Ramadan di usianya yang tidak lagi muda, Abu Nawas seperti biasa minum-minuman keras. Dalam kondisi mabuk berat itu tiba-tiba Abu Nawas didatangi seseorang yang tidak dikenalnya. Tanpa banyak bicara, seseorang itu langsung bertanya kepada Abu Nawas “Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu”.
Mendengar perkataan itu, Abu Nawas terhentak dan tersadar akan segala tingkah lakunya selama ini. Dia merasa hidupnya kelam dan dalam kubangan hitam dosa. Bahkan Abu Nawas langsung mengibaratkan dirinya jauh lebih hina dari lalat. Kesadaran akan arti hidup yang tidak memberikan manfaat bagi orang lain itu, menuntun Abu Nawas untuk mengakhiri kebiasaan lamanya.
Sejak perisiwa malam itu, Abu Nawas mengganti syair-syairnya dengan zikir dan perkataan baik. Dia mengubah segala kebiasaan buruknya menghabiskan malam di bar dengan ke Masjid.
Terlepas dari versi-versi penyebab pertaubatannya, seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas diisi dengan kegiatan ibadah. Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya. Lantunan syair Abu Nawas di atas, merupakan pengakuannya terhadap segenap dosa yang pernah dengan sengaja ia perbuat. Suatu pengakuan yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Suatu penyesalan yang benar-benar tumbuh dari hati yang sadar akan kelalaiannya. Bahkat berkat penghambaan totalnya pada Allah, ada yang menyebutkan sudah masuk dalam taraf kewalian.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah saat menejelang sakaratul mautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. “Tuhan, kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama.”
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara ada pendapat lain yang mengatakan tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria (1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon (1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Zaini, S.Pd.I M.PdKepala Sekolah
|
Tinggalkan Komentar