Info Sekolah
Selasa, 18 Mar 2025
  • Selamat Datang Di Website Resmi MI NOR RAHMAN Banjarmasin
  • Selamat Datang Di Website Resmi MI NOR RAHMAN Banjarmasin
8 Maret 2025

BAB 1: Kembali ke Kampung Halaman

Sab, 8 Maret 2025 Dibaca 26x

Faris menatap jendela bus dengan tatapan kosong. Hujan gerimis membasahi kaca, menciptakan pola-pola acak yang mengaburkan pandangannya. Perjalanan ini terasa lebih panjang dari yang ia bayangkan. Lima tahun sudah ia meninggalkan kampung halamannya, dan kini, ia kembali dengan hati yang penuh tanda tanya.

“Apa aku masih diterima di sini?” gumamnya dalam hati.

Kota telah memberinya banyak hal—pekerjaan yang menjanjikan, kehidupan yang serba cepat, dan pergaulan yang luas. Namun, semua itu terasa hampa. Entah sejak kapan ia mulai kehilangan arah. Mungkin sejak kesibukannya membuatnya jarang pulang, atau mungkin sejak ia merasa tidak ada lagi alasan untuk kembali.

Namun, ada sesuatu yang membuatnya memutuskan untuk pulang kali ini: Ramadhan.

Ia rindu suasana sahur bersama keluarga, rindu suara azan maghrib yang menggema di desa, rindu masjid tua tempat ia biasa bermain setelah tarawih.

Bus mulai melambat saat memasuki terminal desa. Faris menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa pun yang menunggunya. Begitu turun, udara sejuk khas pedesaan langsung menyambutnya. Tidak ada gedung pencakar langit, tidak ada suara klakson kendaraan. Yang ada hanya hamparan sawah hijau, aroma tanah basah setelah hujan, dan anak-anak kecil yang berlarian membawa bungkus takjil dari masjid.

“Faris!”

Ia menoleh dan melihat seorang laki-laki paruh baya berjalan mendekat. Wajahnya penuh senyum, meskipun rambutnya sudah mulai dipenuhi uban.

“Pak Karim!” Faris menyapa dengan hangat. Pak Karim adalah tetangganya sejak kecil, sekaligus marbot di masjid desa.

“Sudah lama kau tak pulang, Nak. Orang tuamu pasti senang sekali melihatmu,” kata Pak Karim sambil menepuk bahu Faris.

Faris hanya tersenyum kecil. Ia tidak tahu apakah kedua orang tuanya benar-benar akan menyambutnya dengan senang hati atau justru kecewa karena ia baru pulang setelah sekian lama.

Perjalanan dari terminal ke rumahnya tidak jauh. Sepanjang jalan, Faris memperhatikan rumah-rumah yang masih sama seperti dulu, hanya beberapa yang tampak lebih baru dengan cat yang diperbarui. Ia juga melihat pasar kecil tempat ia biasa membeli gorengan sepulang sekolah. Rasanya seperti bernostalgia ke masa lalu.

Begitu sampai di depan rumahnya, Faris berdiri sejenak. Rumah itu masih sama, dengan pagar kayu yang sedikit lapuk dan pohon mangga di halaman depan yang semakin besar.

Saat ia hendak mengetuk pintu, suara ibu dari dalam rumah membuatnya tercekat.

“Faris?”

Pintu terbuka, dan di ambang pintu berdiri seorang wanita dengan wajah penuh kehangatan. Matanya sedikit berkaca-kaca, seolah tak percaya bahwa putranya benar-benar pulang.

Tanpa berkata apa-apa, ibu langsung memeluknya erat. Faris merasakan kehangatan yang telah lama ia rindukan. Pelukan itu menghapus sedikit kegelisahan di hatinya.

“Sudah lama sekali kau tak pulang, Nak,” suara ibu terdengar bergetar.

Faris menelan ludah, merasa bersalah. “Maaf, Bu… Aku terlalu sibuk.”

Ibu menggeleng pelan, masih dengan senyuman. “Yang penting kau sudah pulang sekarang.”

Di balik ibu, ayahnya berdiri dengan ekspresi yang lebih tenang. Tidak ada kata-kata berlebihan, hanya anggukan kecil dan senyum tipis. Faris tahu, itulah cara ayahnya menunjukkan perasaan.

“Masuklah, sudah hampir maghrib. Sebentar lagi waktu berbuka,” kata ibu sambil menggandeng tangannya masuk ke dalam rumah.

Saat melewati ruang tamu, Faris melihat sesuatu yang membuatnya sedikit terkejut. Di atas meja, ada sebuah Al-Qur’an tua yang masih terbuka, seakan baru saja dibaca. Ia ingat, itu adalah Al-Qur’an yang dulu sering ia gunakan saat kecil.

“Masih sering dibaca, Bu?” tanyanya sambil menunjuk kitab itu.

Ibu mengangguk. “Ayahmu selalu membacanya setiap hari. Kadang-kadang, ibu juga membacanya sambil mengingatmu.”

Faris terdiam. Ada sesuatu yang menusuk hatinya. Sudah berapa lama ia tidak membaca Al-Qur’an? Di kota, ia terlalu sibuk bekerja hingga ibadahnya pun sering terabaikan.

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara azan maghrib berkumandang dari masjid tua di ujung jalan. Suara itu membawanya kembali ke masa kecilnya—masa di mana ia selalu berlari pulang ketika mendengar azan, takut ketinggalan berbuka puasa bersama keluarga.

Kini, setelah bertahun-tahun, ia kembali duduk di meja makan bersama ayah dan ibu. Mereka menyantap kurma dan segelas air putih, seperti tradisi yang selalu dilakukan sejak dulu.

Faris mengangkat tangan dan berdoa dalam hati.

“Ya Allah, jika Ramadhan ini adalah kesempatan bagiku untuk berubah, maka tuntunlah aku ke jalan yang lebih baik.”

Ia tidak tahu perjalanan seperti apa yang menunggunya dalam 30 hari ke depan. Namun, satu hal yang pasti, Ramadhan kali ini akan menjadi awal yang baru baginya.


Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

 

Maret 2025
M S S R K J S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031