Cahaya di Langit Senja (Bab 2)

(Sebuah Novel Islami tentang Tauhid dan Keimanan)

Bab 2: Doa yang Tak Kunjung Dikabulkan

Malam telah turun dengan tenangnya. Langit berwarna hitam pekat, dihiasi taburan bintang yang berkelip di kejauhan. Di desa Al-Muhtadin, suara jangkrik bersahutan, berpadu dengan hembusan angin yang menyelinap di antara dedaunan.

Di dalam rumah kecil beratap ilalang, Azzam duduk bersila di sudut kamar. Di hadapannya, sajadah tua terbentang. Lampu minyak di sudut ruangan berkedip-kedip, menebarkan cahaya redup yang menari di dinding anyaman bambu.

Sudah berhari-hari ia berdoa, memohon kepada Allah agar ayahnya sembuh. Malam ini, ia kembali mengangkat tangannya dengan penuh harap.

“Ya Allah, Engkau yang Maha Penyembuh. Sembuhkanlah ayahku. Berikanlah kemudahan bagi keluarga kami. Aku mohon, Ya Allah…”

Suaranya lirih, hampir berbisik. Hatinya remuk melihat tubuh ayahnya yang semakin lemah. Setiap hari, kondisi Pak Harun semakin memburuk. Nafasnya tersengal, badannya kian kurus, dan wajahnya pucat. Sementara itu, ibunya, Bu Salma, tetap berusaha tegar.

“Allah pasti akan menolong kita, Nak,” ucap Bu Salma tadi siang, meski suaranya terdengar lelah.

Tapi, di dalam hati Azzam, ada keraguan yang perlahan tumbuh.

“Kenapa Allah belum juga mengabulkan doaku?” pikirnya.

Ia mengusap wajahnya, lalu menunduk dalam-dalam. Dulu, ia selalu percaya bahwa setiap doa akan dijawab. Tapi sekarang, hatinya mulai bertanya-tanya.

“Apakah Allah benar-benar mendengar? Apakah aku tidak cukup beriman? Ataukah Allah tidak peduli?”

Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia berbaring menatap langit-langit rumahnya, mendengarkan suara ibu yang merawat ayahnya dengan penuh kesabaran.

Di luar, angin berhembus membawa kesunyian yang dingin.

Besok, ia akan menemui Kyai Nawawi. Ia ingin mendapatkan jawaban. Ia ingin tahu apakah Allah benar-benar ada di sisinya, atau apakah ia hanya berdoa pada kehampaan.