Pada masa Rasulullah SAW, kisah-kisah penuh hikmah dari para sahabatnya sering kali menjadi cermin bagi kita untuk belajar tentang kehidupan, integritas, dan ketakwaan. Salah satu kisah yang sangat menyentuh hati adalah kisah sahabat Abu Dujanah, seorang yang dikenal memiliki keteguhan hati luar biasa dalam menjaga amanah dan kehalalan harta, meskipun hidup dalam kemiskinan. Kisah ini tidak hanya menggugah emosi, tetapi juga mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga kejujuran dan menghindari harta haram dalam setiap aspek kehidupan.
Abu Dujanah, seorang sahabat Nabi yang setia, hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan. Meski demikian, ia selalu hadir dalam shalat berjamaah bersama Rasulullah setiap subuh. Namun, ada satu kebiasaan Abu Dujanah yang menarik perhatian Nabi. Setelah shalat, ia selalu bergegas pulang, tidak menunggu sampai Rasulullah selesai memanjatkan doa. Perilaku ini menimbulkan pertanyaan di hati Rasulullah.
Pada suatu hari, Rasulullah SAW akhirnya bertanya kepada Abu Dujanah, “Mengapa kamu selalu terburu-buru pulang setelah shalat subuh? Apakah tidak ada doa atau permintaan yang ingin kamu sampaikan kepada Allah?”
Abu Dujanah, dengan rendah hati, menjawab bahwa ada satu alasan mendesak mengapa ia selalu terburu-buru meninggalkan masjid.
Abu Dujanah lalu menjelaskan, “Rumah kami berdampingan dengan rumah seorang laki-laki. Di pekarangan rumah tetangga kami itu, terdapat sebuah pohon kurma yang dahannya menjuntai hingga ke rumah kami. Setiap kali ada angin malam bertiup, buah kurma dari pohon itu berjatuhan di pekarangan rumah kami.”
Sebagai keluarga yang hidup dalam kemiskinan, anak-anak Abu Dujanah sering kali kelaparan. Ketika mereka bangun pagi dan menemukan kurma-kurma tersebut, mereka langsung memakannya tanpa tahu asal-usulnya. Oleh karena itu, setelah shalat subuh, Abu Dujanah selalu bergegas pulang untuk mengumpulkan kurma-kurma yang jatuh di pekarangannya sebelum anak-anaknya terbangun. Kurma-kurma itu kemudian ia kembalikan kepada pemiliknya, karena Abu Dujanah tidak ingin barang haram masuk ke dalam rumahnya.
Suatu hari, Abu Dujanah terlambat pulang. Saat tiba di rumah, ia mendapati salah satu anaknya sedang mengunyah kurma yang jatuh semalam. Dengan penuh ketegasan dan tanggung jawab, Abu Dujanah langsung mengambil kurma itu dari mulut anaknya dan berkata, “Nak, janganlah kau permalukan ayahmu di akhirat kelak. Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela ada harta haram masuk ke perutmu.”
Pandangan Abu Dujanah yang begitu tegas dan prinsipil dalam menjaga kehalalan harta membuat Rasulullah SAW sangat terharu. Mata Nabi pun berkaca-kaca mendengar cerita ini, dan ia menangis karena kejujuran dan ketulusan Abu Dujanah dalam menjaga integritas keluarganya.
Mengetahui ketulusan Abu Dujanah, Rasulullah SAW segera ingin membantu. Beliau pun mencari tahu siapa pemilik pohon kurma tersebut. Ternyata, pohon itu dimiliki oleh seorang munafik. Rasulullah segera memanggilnya dan menawarkan untuk membeli pohon kurma tersebut dengan tawaran yang sangat luar biasa.
Nabi menawarkan pohon zamrud yang disirami dengan emas merah, batangnya dari mutiara putih, dan disediakan bidadari sesuai jumlah buah kurma sebagai ganti pohon tersebut di akhirat. Namun, laki-laki munafik itu menolak tawaran Nabi, dengan mengatakan bahwa ia tidak mau berdagang kecuali dengan uang kontan dan tidak menerima janji-janji di kemudian hari.
Dalam situasi tersebut, Abu Bakar As-Shiddiq RA yang juga hadir, segera menawarkan untuk membeli pohon kurma itu dengan uang kontan. Abu Bakar bahkan bersedia membayar sepuluh kali lipat dari harga pasar. Laki-laki munafik itu pun kegirangan dan langsung setuju. Setelah transaksi selesai, Abu Bakar menyerahkan kepemilikan pohon kurma kepada Abu Dujanah.
Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada Abu Bakar, “Aku yang menanggung gantinya untukmu.” Mendengar hal ini, Abu Bakar pun bergembira, begitu pula Abu Dujanah yang kini tidak lagi harus khawatir dengan kurma-kurma yang jatuh di pekarangan rumahnya.
Namun, malam harinya, terjadi keajaiban. Saat si munafik bangun dari tidurnya, ia mendapati pohon kurma miliknya telah berpindah ke pekarangan Abu Dujanah. Tempat asal pohon tersebut tumbuh, seolah-olah tidak pernah ada pohon di sana. Si munafik terkejut dan kebingungan, namun tak ada yang bisa ia lakukan.
Kisah Abu Dujanah mengandung banyak hikmah tentang pentingnya menjaga kehalalan harta, integritas, dan keteguhan hati dalam menghadapi ujian kehidupan. Meskipun hidup dalam kemiskinan dan kesulitan, Abu Dujanah menunjukkan bahwa ia lebih memilih menjaga amanah dan kehormatan daripada membiarkan barang haram masuk ke dalam perut keluarganya. Bahkan, sebiji kurma pun ia anggap sebagai sesuatu yang sangat berharga dalam menjaga kejujuran.
Kisah ini juga menunjukkan betapa pentingnya memiliki keteguhan dalam menghadapi godaan harta haram. Dalam kehidupan modern saat ini, mungkin banyak godaan yang datang dalam bentuk yang berbeda, tetapi prinsip yang dipegang oleh Abu Dujanah tetap relevan. Kehalalan dalam mencari nafkah dan menjaga amanah adalah salah satu kunci mendapatkan keberkahan dalam hidup.
Selain itu, kisah ini juga menyoroti betapa besar kasih sayang Rasulullah SAW kepada sahabat-sahabatnya. Nabi tidak hanya memberikan nasihat, tetapi juga mengambil tindakan nyata untuk membantu sahabatnya yang berada dalam kesulitan. Keterlibatan Abu Bakar As-Shiddiq dalam membantu Abu Dujanah juga merupakan contoh nyata dari solidaritas dan kebersamaan dalam Islam, di mana kaum Muslimin saling membantu satu sama lain dalam kebaikan.
Kisah Abu Dujanah mengajarkan kepada kita bahwa keberkahan dalam hidup tidak semata-mata diukur dari banyaknya harta, melainkan dari kehalalan dan ketulusan hati dalam mencarinya. Setiap kebaikan, sekecil apapun, akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT, sebagaimana janji yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Namun, hasil dari kebaikan tersebut tidak selalu kita tuai di dunia, melainkan di akhirat kelak, karena dunia ini adalah tempat bercocok tanam, sementara akhirat adalah tempat memanen.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk senantiasa menjaga kehalalan harta, berpegang pada amanah, dan menempatkan integritas di atas segalanya. Meski kehidupan penuh tantangan, dengan ketulusan dan keikhlasan, kita dapat mencapai keberkahan yang akan membawa kita kepada kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam.
Referensi :
Mundzir, A. (2018, Agustus 19). Rasulullah menangis mendengar cerita orang ini. NU Online.
Tinggalkan Komentar