Minggu
24 November 2024
Muhammad Hafiz Ansyari
10 Des 2023, 13:42 pm

Pemikiran al Zarnuji tentang Pendidikan Islam

Pemikiran al Zarnuji tentang Pendidikan Islam

Menurut al-Zarnuji Bentuk pemikiran pendidikan al-Zarnuji dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim dapat dipetakan menurut komponen pendidikan, yaitu berdasarkan tujuan pendidikan, guru sebagai pendidik, murid sebagai terdidik, serta media dan metode pendidikan. Untuk mengetahui pemikiran pendidikan al-Zarnuji, maka kitab Ta’līm al-Muta’allim adalah satu-satunya kitab yang dapat dijadikan pijakan, sebab berdasar litertur yang dapatkan, para peneliti masih sepakat bahwa kitab tersebut merupakan satu-satunya kitab sebagai karya al-Zarnuji yang masih ada sampai sekarang. M. Plessner misalnya, mengatakan bahwa kitab Ta’lim alMuta’allim adalah satu-satunya karya al-Zarnuji yang masih tersisa.

  1. Tujuan Pendidikan Islam Menurut al-Zarnuji

Tujuan pendidikan dalam hal ini menurut al-Zarnuji disebutkan dengan niat, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam pendidikan Islam. Tujuan pendidikan tersebut, pertama, harus ditujukan untuk mencari rida Allah Swt. Kedua, ditujukan pula untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat yang merupakan tempat kebahagiaan abadi. Ketiga, untuk menghidupkan agama, sebab agama tanpa ilmu tidak akan dapat hidup. Keempat, ditujukan pula untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam diri seseorang. Sebab, manusia telah diberikan Allah potensi akal yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan sekaligus membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Al-Zarnuji memberikan konsep sederhana tetapi penuh makna, bahwa seorang murid dididik harus mencapai tingkat kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient) terlebih dahulu.[1]

“Kami terangkan: Bahwa sebab-sebab yang dapat membuat seorang menjadi hafal ialah bersungguh-sungguh, rajin, istiqomah, mengurangi makan dan mengerjakan sholat malam juga membaca Al-Quran.”

Sedangkan dimensi praktis pelaksanaannya adalah :

“Bagi orang yang mencari ilmu harus senantiasa melakukan penalaran dan juga senantiasa berdiskusi”.

Al-Zarnuji tidak melupakan pentingnya faktor kecerdasan emosional (Emosional Quotient) dalam proses pengembangan kepribadian. Dalam bahasa yang santun dan ramah al-Zarnuji berkata:[2]

“Orang yang berilmu harus mempunyai sifat kasih sayang jika sedang memberi nasihat dan jangan sampai mempunyai maksud jahat.”

Bahkan yang lebih mengagumkan, al-Zarnuji pun telah menyadari bahwa dua kecerdasan tadi akan sia-sia bila tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) sehingga al-Zarnuji dengan bijak berkata:[3]

“Orang yang menuntut ilmu harus berniat untuk mencari ridla Allah, mendapat pahala di akhirat, menghilangkan kebodohan diri sendiri juga orang lain, menghidupkan agama dan memperjuangkan agama Islam.”

Al-Zarnuji telah memberikan konsep mengenai metode pendidikan yang cukup ideal dan gambaran tentang keharusan adanya keterhubungan yang utuh antara kecerdasan intelektual lebih berkaitan dengan fungsi akal dengan kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual dimana keduanya sedikit banyak terpengaruhi oleh aspek moralitas dan etika.

  1. Peranan Guru Dalam Pendidikan Islam menurut al-Zarnuji

Pendidik ideal dalam pandangan al-Zarnuji adalah seseorang yang selain mempunyai spesialisi ilmu tertentu, mempunyai sikap hati-hati dalam perbuatan, juga harus lebih tua usianya dari anak didik. Semuanya itu dimaksudkan supaya pendidik betul-betul mampu mengemban tugas sebagai pendidik bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, seseorang harus betul-betul memperhatikan seluruh aspek kehidupan anak didik yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bahkan lebih dari itu, ia juga harus memperhatikan kebutuhan hidup anak didik. Pengajar tentu saja hanya memperhatikan aspek kognitifnya saja, sedangkan persyaratan seorang guru menurut al-Zarnuji adalah seorang yang alim, mempunyai sifat wara atau wira’i, dan lebih tua atau senior, dikatakan bahwa:[4]

“Adapun memilih guru, hendaknya memilih seorang guru yang lebih alim, lebih wara‟, dan lebih tua.”

Guru dituntut mempunyai moral dan integritas yang baik (akhlak mulia), disamping mempunyai sifat penyayang dan sabar. Dengan bekal tersebut seorang murid akan senang dan betah untuk tetap belajar. Al-Zarnuji juga mewajibkan untuk menghormati guru, bahkan melarang membantah dan menyanggahnya sedikitpun.[5]

“Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar walaupun hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham.”

Sedangkan hak-hak guru yang terperinci tercermin dalam pernyataannya bahwa termasuk menghormati guru, adalah:[6]

“Termasuk menghormati guru ialah hendaklah seorang murid tidak berjalan didepannya, tidak duduk ditempatnya. Jika berhadapannya tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya.”

“Hendaklah tidak banyak bicara di hadapan guru. Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang capek/bosan. Harus menjaga waktu. Jangan mengetuk pintunya, tetapi sebaliknya menunggu sampai beliau keluar.”

“Seorang murid harus mencari kerelaan hati guru, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan ia murka, mematuhi perintahnya asal tidak bertentangan dengan agama.”

  1. Status Murid Dalam Pendidikan Islam Menurut al-Zarnujji

Seorang anak didik, untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak sebelum menjalankan tugas belajar, seharusnya mempunyai watak-watak yang baik antara lain, tawadu, iffah, tabah, sabar, mencintai ilmu dan menghormati gurunya, bersungguh-sungguh, wara’, mempunyai cita-cita yang tinggi serta tawakal. Dalam kitab Ta‟līm al-Muta‟allim karya al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar, yakni:

  • Anjuran untuk selalu belajar al-Zarnuji mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Syairnya adalah sebagai berikut:[7]

“Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna. Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa, Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara’ lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh.”

Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.

  • Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.[8]

“Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, rendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.”

  • Larangan mempelajari ilmu perdukunan. Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan atau ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu aqliyah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).[9]

“Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan”.

Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.

  • Niat dalam menuntut ilmu. Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Beliau menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar. Ia mengatakan:[10]

“Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah”. [11]

Menurut al-Zarnuji ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu pertama, niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah, kedua, niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan; ketiga, boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu

  • Sifat tawadlu. Para pencari ilmu dianjurkan oleh al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Beliau mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:[12]

“Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka”.

  • Cara memilih guru. Dalam kitab ini, al-Zarnuji juga memberikan resep bagaimana mencari guru. Menurut beliau guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:[13]

“Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua”.

  • Cara memilih jenis ilmu. al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu. Namun demikian, al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut al-Zarnuji, “iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal”. Selain ilmu tauhid, al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf.
  • Nasihat kepada para pelajar. al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain anjuran untuk bermusyawarah. Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain. beliau mengatakan:

“Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan”.

  • Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun. Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran atau ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Beliau mengatakan:[14]

“Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan”.

Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:[15]

“Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama”.

  • Anjuran untuk bersikap berani. Selain sabar dan tekun, al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Beliau mengatakan:[16]

“Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan”.

  • Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu. al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Beliau mengatakan:[17]

“Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya”.

  • Anjuran berteman dengan orang baik. al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:[18]

“Yang tekun belajar, bersifat wara’, berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah”.

  • Anjuran menghormati ilmu dan guru. Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu. Beliau berkata:[19]

“Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru”.

Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya. Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. Anjuran al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi. Cara lain menghormati guru menurut al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah.

  • Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Dalam pasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan citacita (al-himmah), al-Zarnuji mengatakan:[20]

“Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk”.

Al-Zarnuji menyarankan kepada peserta didik untuk selalu bersungguh-sungguh dalam menunutut ilmu, karna siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan mendapatkanya.

  • Anjuran untuk mencermati perkataan guru. Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, al-Zarnuji menganjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Beliau mengatakan:[21]

“Seyogyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya”.

  • Anjuran untuk berusaha sambil berdoa. Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do’a. demikian pula do’a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo’a. Beliau berkata:[22]

“Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo’a kepada Allah”.

  • Anjuran untuk berdiskusi. Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji menganjurkannya. Beliau berkata:[23]

“Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional”.

  • Anjuran untuk senantiasa bersyukur. Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Beliau berkata:[24]

“Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta”.

  • Anjuran untuk tidak mudah putus asa. Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.

“Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk”.

  • Anjuran untuk senantiasa tawakkal. Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal. Beliau mengatakan :[25]

“Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki”.

  • Anjuran untuk saling mengasihi. Para pencari ilmu disarankan oleh alZarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Beliau berkata:[26]

“Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasud, karena hasud tidak membawa manfaat”.

  • Anjuran untuk tidak berprasangka buruk. Terhadap sesama Muslim, alZarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Beliau mengatakan:[27]

“Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh”.

  • Anjuran bersikap wara’. Para pelajar disarankan oleh al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara’ atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Beliau berkata :[28]

“Pelajar yang bersifat wara’ maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah”

  • Anjuran memperbanyak shalat. Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Karena shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah Swt.

“Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu’, karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar”.

  1. Metode Pendidikan Islam Menurut al-Zarnuji

Alat pendidikan meliputi dua aspek, yaitu materi dan metode pendidikan yang pada dasarnya kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, pemakaian metode pendidikan harus sesuai dengan materi yang diberikan. Pertama, materi pendidikan harus mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan kehidupan keagamaan anak didik, misalnya saja tentang tauhid, ibadah, dan akhlak, selain itu materi juga harus sesuai dengan kebutuhan anak didik dalam menjalani kehidupannya sehari-hari seperti materi keterampilan kerja.

Kedua, al-Zarnuji memberikan metode menghafal supaya pendidikan yang diberukan oleh guru dapat masuk kedalam diri anak didik, metode mancatat dan memahami, metode munadharah, mudzakarah, dan mutharahah.[29] Metodemetode tersebut, dapat dipraktekkan sesuai dengan karakter materi pelajaran. Sedangkan lingkungan pendidikan haruslah lingkungan yang kondusif untuk pengembangan pendidikan. Lingkungan pendidikan yang dikonsepsikan alZarnuji adalah lingkungan persahabatan yang mendukung lancarnya pendidikan dan kesungguhan belajar, dan sebaliknya harus menjauhi lingkungan persahabatan yang tidak mendukung pendidikan.

Dalam bab ke-12 dalam kitab Ta‟līm al-Muta‟allim menjelaskan, bahwa metode menghafal merupakan metode pokok dalam sistem pendidikan, kekuatan akal dalam menangkap respon-respon dari luar sangat penting dalam usaha pemahaman sesuatu makna. Hal ini terlihat jelas dari deskripsi al-Zarnuji tentang kiat-kiat memperkuat hafalan dan hal-hal yang harus dijauhi yang dapat merusak hafalan (penyebab kelalaian). Usaha untuk memperkuat hafalan (dlabith, dalam istilah hadits) dilakukan dengan cara tekun belajar, mengurangi makan, salat malam, dan membaca Al-Quran. Dikatakan oleh al-Zarnuji:[30]

“Kami terangkan: Bahwa sebab-sebab yang dapat membuat seorang menjadi hafal ialah bersungguh-sungguh, rajin, istiqomah, mengurangi makan dan mengerjakan sholat malam juga membaca Al-Quran.”

Cara lain yang dapat menguatkan hafalan adalah dengan makan kundar (kemenyan) dicampur madu, makan 21 anggur merah setiap hari tanpa air, dan apa saja yang dapat mengurangi dahak, bisa menguatkan hafalan, dan sebaliknya jika apa saja yang menambah dahak akan menyebabkan lemahnya hafalan seseorang.

Al-Zarnuji secara sederhana memberikan gambaran tentang hal-hal yang menjadikan penyebab lemahnya hafalan seseorang, adalah makan ketumbar basah, makan apel yang kecut, melihat orang yang disalib, membaca tulisan di kuburan, melewati barisan unta, membuang kutu hidup di tanah dan cantuk (melukai di bagian tengkuk kepala untuk menghilangkan rasa pusing).

  1. Hubungan Guru dan Murid dalam Pendidikan Islam Menurut al-Zarnuji

Inti proses belajar adalah perubahan pada diri individu dalam aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya dengan lingkungan. Belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri individu terbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya.

Proses belajar dapat terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau sengaja dirancang. Orang yang belajar mandiri secara individual dikenal sebagai otodidak, sedangkan orang yang belajar karena dirancang dikenal sebagai pembelajaran formal. Proses belajar sebagian besar terjadi karena memang sengaja dirancang. Proses tersebut pada dasarnya merupakan sistem dan prosedur penataan situasi dan lingkungan belajar agar memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem dan prosedur inilah yang dikenal sebagai proses pembelajaran aktif.

Proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model proses ini dikenal sebagai pembelajaran aktif atau pembelajaran interaktif dengan karakteristiknya sebagai berikut :

  • Adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok dan perorangan.
  • Guru berperan sebagai fasilitator belajar, nara sumber dan manajer kelas yang demokratis.
  • Keterlibatan mental (pikiran, perasaan) siswa.
  • Menerapkan pola komunikasi yang banyak.
  • Suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan.
  • Potensial dapat menghasilkan dampak intruksional dan dampak pengiring lebih efektif.
  • Dapat digunakan di dalam atau di luar kelas atau ruangan.

Membahas tentang hubungan guru dan murid, maka sangat terkait dengan interaksi edukatif, yaitu suatu proses yang menggambarkan hubungan aktif dua arah antara guru dan murid dengan sejumlah pengetahuan (norma) sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.

Anak didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya sulit ditentukan karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran, daya appersepsi dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.

Untuk mengetahui hubungan antara guru dan murid menurut pemikiran alZarnuji, maka dapat diulas dari kitab Ta‟līm al-Muta‟allim, yang secara spesifik ditulis dalam bab IV, tentang Memuliakan Ilmu dan Ahli Ilmu. Dalam bab ini beliau membahas secara luas mengenai hubungan guru dengan murid, mencakup beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang murid, terkait dengan hubungan sebagai sesama manusia dalam keseharian maupun hubungan dalam situasi formal sebagai seorang pengajar dan individu yang belajar. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana etika atau sikap guru terhadap murid hanya dibahas secara implisit, karena pada dasarnya kitab ini ditulis sebagai pedoman dan tuntunan bagi para penuntut ilmu atau para murid.

Secara metode pendidikan, al-Zarnuji memberikan konsep secara sederhana tetapi mengandung makna yang luas bahwa dalam proses pembelajaran yang baik ada tiga hal penting yang harus diperhatikan yaitu:[31]

“Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), munadzarah (berdialog), dan mutharahah. Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional”.

Pendapat tersebut mengandung arti bahwa metode diskusi antar murid atau dalam bentuk kelompok merupakan penekanan penting untuk sebuah pendidikan. Dengan berdiskusi atau dialog, seorang murid akan mampu melatih daya argumentasinya dan daya kekritisannya dalam memecahkan masalah. Sedangkan cara berdiskusi yang baik adalah serius atau peka, mematuhi aturan, tidak membuat keributan, dan mengedepankan rasional daripada emosional.[32]

Metode diskusi mendorong siswa untuk berdialog dan bertukar pendapat, dengan tujuan agar siswa dapat terdorong untuk berpartisipasi secara optimal, tanpa ada aturan-aturan yang terlalu keras, namun tetap harus mengikuti etika yang disepakati bersama. Diskusi dapat dilaksanakan dalam dua bentuk. Pertama, diskusi kelompok kecil (small group discussion) dengan kegiatan kelompok kecil. Kedua, diskusi kelas, yang melibatkan semua siswa di dalam kelas, baik dipimpin langsung oleh gurunya atau dilaksanakan oleh seorang atau beberapa pemimpin diskusi yang dipilih langsung oleh siswa. Jadi dilihat dari segi hubungan antara guru dengan murid adalah hubungan yang demokratis, hubungan dalam pendidikan yang memposisikan guru sebagai fasilitator dan evaluator.

Dalam bagian lain dalam hubungan guru dengan murid adalah masalah etika murid terhadap guru dalam rangka menghormati atau mengagungkan guru, alZarnuji memberikan rambu-rambu yang aplikatif bahwa yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang murid atau santri hendaknya, (1) jangan berjalan di muka guru; (2) jangan menduduki tempat duduk guru; (3) jangan mendahului bicara dihadapan gurunya kecuali seijinnya; (4) jangan banyak bicara dihadapan guru; (5) jangan bertanya sesuatu yang membosankannya; (6) jika berkunjung pada guru harus menjaga waktu, dan jika guru belum keluar maka janganlah mengetuk-ngetuk pintu, tapi bersabarlah hingga guru keluar; (7) selalu memohon keridho’annya; (8) manjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahann guru; (9) melaksanakan perintah guru asal bukan perintah maksiat; (10) menghormati dan memuliakan anak-anak, famili dan kerabat gurunya.[33]

Belajar merupakan suatu usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan dapat mengantarkan seseorang menuju jalan yang terang dan derajat keluhuran. Belajar bagi al-Zarnuji lebih dimaknai sebagai tindakan yang bernilai ibadah, yang dapat ikut menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama sangat menjunjung nilai-nilai moral dalam kehidupan, terlebih orang-orang yang berilmu. Orang yang mencari ilmu harus memperhatikan dasar-dasar etika agar dapat berhasil dengan baik dalam belajar, memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajari dan tidak menjadikannya sia-sia. Diantara beberapa etika tersebut dapat dipahami dari nasehat–nasehat al-Zarnuji, yang terkait dengan etika dalam menjaga hubungan antara guru dengan murid.

Al-Zarnuji memberi pernyataan penegasan kepada orang yang menuntut ilmu, beliau mengatakan :[34]

“Ketahuilah sesunguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya, dan memuliakan guru.”

Jadi untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan mengagungkan ilmu, dan yang termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah menghormati guru dan keluarganya. Penghormatan terhadap guru merupakan suatu hal yang wajar karena pada dasarnya guru tidak membutuhkan suatu penghormatan akan tetapi secara manusiawi guru biasanya menjadi tersinggung apabila muridnya bersikap merendahkan dan tidak menghargai. Sebagai wujud pemuliaan dan penghormatan kepada guru, Sebagai konsekuensi sikap moral atas pengagungan dan penghormatan terhadap guru alZarnuji memberikan saran dan penjelasan, bahwa penghormatan tersebut berbentuk sikap kongkrit yang mengacu pada etika moral dan akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam interaksi keseharian dan dalam bentuk materi. AlZarnuji mengutip syair dari Ali bin Abi Thalib:[35]

“Aku tahu bahwa hak seorang guru itu harus diindahkan melebihi segala hak. Dan wajib dijaga oleh setiap Islam. Sebagai balasan memuliakan guru, amat pantaslah jika beliau diberi seribu dirham, meskipun hanya mengajarkan satu kalimat.

Guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan disebut sebagai bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, karena dengan jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian spiritual dan keselamatan akhirat. Hal ini berarti hubungan tersebut adalah hubungan yang sangat dekat tidak hanya terbatas dalam kondisi dan lingkungan pendidikan secara formal, dimana guru sebagai pentransfer pengetahuan dan murid sebagai penerima, akan tertapi lebih merupakan sebuah hubungan yang memiliki ikatan moral dan emosional tinggi sebagaimana ikatan antara bapak dan anak, yang sama-sama memiliki konsekuensi sikap dalam bentuk hak dan kewajiban.

Indikator murid yang baik adalah selalu dapat menyenangkan hati sang guru dan menaruh penuh rasa hormat terhadap gurunya, mendahulukan urusan yang terkait dengan guru. Sehingga guru tidak merasa tersinggung dan sakit hati. Jadi pada dasarnya merupakan suatu kewajiban atas murid untuk dapat beritikad baik kepada guru, sebab bagaimanapun guru adalah juga bapak dari para murid, sehingga perintah dari guru merupakan suatu keharusan bagi murid untuk melaksanakannya, sebagaimana perintah dari orang tua terhadap anaknya, kecuali perintah dalam kedhaliman, bahkan haram bagi murid menyinggung perasaan dan membuat sakit hati guru, sebagaimana Allah mengharamkan kedurhakaan anak terhadap orang tuanya. Secara tegas al-Zarnuji mengatakan, “Barang siapa menyakiti hati guru, maka haramlah keberkahan ilmu dan tidak memperoleh manfaat ilmu kecuali sedikit.”

Implikasi dari sikap murid yang meremehkan dan tidak dapat menaruh rasa hormat terhadap guru maupun para kerabatnya, maka digambarkan oleh al-Zarnuji dengan mengutip sebuah sya’ir, bahwa: [36]

“Ketahuilah, sesungguhnya guru dan dokter, keduanya jika tidak dihormati, tentu tidak akan mau memberikan nasehat yang benar Maka terimalah dengan sabar rasa sakitmu jika kamu meremehkan doktermu. Dan terimalah kebodohanmu, jika kamu meremehkan gurumu”

Syair di atas menggambarkan, bahwa hubungan guru dan murid seperti hubungan antara dokter dan pasien, karena adanya persamaan saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Guru dibutuhkan oleh murid karena ilmunya untuk menghilangkan kebodohan sedangkan dokter dibutuhkan oleh pasien karena nasehat dan obatnya untuk kesembuhan penyakitnya. Demikian pula dalam proses belajar mengajar dan dalam persoalan akademik, seorang guru lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan murid. Sedangkan seorang dokter memang memiliki keahlian didalam mendiagnosa untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Jadi fungsi hubungan antara dokter dengan pasien adalah adanya kepercayaan dan kepatuhan murid terhadap guru dalam persoalan akademiknya, dengan mengutamakan petunjuk dan nasehat sebagai kepentingan utama.[37]

Hubungan inilah yang kemudian pada akhir pembahasan bab ini, ditegaskan kembali oleh al-Zarnuji kepada penuntut ilmu untuk benar-benar dapat memahami posisi seorang guru bagi dirinya dalam rangka pengembangan potensi ilmiahnya serta penemuan dan pengembangan potensi diri, yang tidak mungkin berkembang tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian lebih darinya, karena memang demikianlah proses pendidikan berlangsung.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari pembahasan mengenai konsep pendidikan menurut al-Zarnuji, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Pendidikan Islam menurut pandangan Syekh Al-Zarnuji dapat dipetakan menurut komponen pendidikan, yaitu berdasarkan tujuan pendidikan, guru sebagai pendidik, murid sebagai terdidik, serta media dan metode pendidikan. Tujuan pendidikan dalam hal ini yaitu harus berniat untuk mencari ridha Allah. Dalam memilih guru hendaknya memilih seorang guru yang lebih alim, lebih wara’, dan lebih tua. Seorang yang menuntut ilmu harus memiliki kepribadian yang baik. Al-Zarnuji memberikan metode menghafal, metode mancatat, diskusi dan memahami. Menurut alZarnuji, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan mengagungkan ilmu, dan yang termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah menghormati guru dan keluarganya.

 

[1] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 41.

[2] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 36.

[3] Ibid hal 10.

[4] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 13.

[5] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 16-17.

[6] Ibid hal 17.

[7] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 6-7.

[8] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 8

[9] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 8.

[10] Ibid hal 10

[11] Syekh az zarnuji, pedoman belajar pelajar dan santri, (surabaya, alhidayah) hal 10

[12] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 12.

[13] Ibid hal 13.

[14] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 14

[15] Ibid hal 15.

[16] Ibid hal 14

[17] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 15

[18] Ibid hal 15.

[19] Ibid hal 16.

[20] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 20-21.

[21] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 29

[22] Ibid hal 29.

[23] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 32

[24] Ibid hal 34.

[25] Ibid hal 34.

[26] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 36.

[27] Ibid hal 37.

[28] Ibid hal 39

[29] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1997), Cet.I, hal 101.

[30] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 41.

[31] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 30.

[32] Dahari kusun, konsep-pendidikan-al-zarnuji, 2012 http://dahare.blogspot.com , 11 september 2015

[33] Syekh az zarnuji, pedoman belajar pelajar dan santri, (surabaya, alhidayah) hal 26

[34] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 16.

[35] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 16-17.

[36] Syekh Ibrahim Bin Ismail, Sharah Ta‟lim al-Muta‟allim, (Surabaya, Maktabah alHidayah), hal 18.

[37] Dahari kusun, konsep-pendidikan-al-zarnuji, 2012.

Artikel ini memiliki 0 Komentar

Tinggalkan Komentar

 

SEKOLAH

MI Nor Rahman Banjarmasin

Jl Kelayan B Gang Setiarahman RT 10 Kel. Kelayan Tengah Kec. Banjarmasin Selatan Kota Banjarmasin

Zaini, S.Pd.I M.Pd

Kepala Sekolah