Pernahkah Anda merasa ragu apakah semua shalat yang pernah Anda lakukan benar-benar sah dan sempurna? Atau mungkin, ada masa di hidup Anda di mana shalat sering terlewatkan, baik karena kesibukan atau kelalaian? Jika iya, maka shalat kafarat atau shalat al-bara’ah bisa menjadi solusi spiritual yang menarik untuk dilakukan.
Shalat kafarat adalah shalat yang dilakukan pada Jumat terakhir bulan Ramadhan, bertujuan untuk mengqadha shalat yang mungkin pernah ditinggalkan atau memperbaiki kekurangan dalam shalat yang telah dilakukan. Amalan ini mendapat dukungan dari banyak ulama, khususnya dari kalangan ulama Hadramaut, Yaman, yang telah menjalankan dan merekomendasikannya selama berabad-abad.
Lalu, bagaimana hukum dan dalilnya? Mari kita bahas lebih dalam.
Shalat kafarat adalah shalat yang dilakukan untuk mengganti shalat fardhu yang mungkin pernah ditinggalkan atau dianggap tidak sah.
Jumlah rakaatnya sama dengan shalat fardhu sehari semalam, yaitu 17 rakaat, terdiri dari:
Shalat ini biasanya dikerjakan secara berjamaah di masjid setelah shalat Jumat terakhir bulan Ramadhan. Beberapa ulama bahkan menyebut bahwa shalat ini bisa menggantikan shalat yang ditinggalkan seumur hidup hingga 70 tahun.
Sejumlah ulama mendukung pelaksanaan shalat kafarat dengan berbagai dalil dan pertimbangan. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa shalat ini dianggap sah dan boleh dilakukan.
Salah satu dalil yang mendukung shalat kafarat berasal dari pendapat Al-Qadhi Husain, seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i. Ia menyatakan bahwa seseorang yang mengqadha shalat yang diragukan pernah ditinggalkan, diharapkan shalat itu dapat menutupi kekurangan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunnah.
“Bila seseorang mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunnah.” (Hasyiyah al-Jamal, Juz 2, hlm. 27).
Artinya, meskipun seseorang tidak yakin apakah pernah meninggalkan shalat atau tidak, tetap lebih baik melakukannya sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.
Dalam Islam, tidak ada jaminan bahwa seluruh shalat yang dilakukan seseorang pasti sah dan sempurna. Kadang, kita melakukan shalat dalam keadaan lalai, kurang fokus, atau bahkan salah dalam gerakan dan bacaan.
Oleh karena itu, shalat kafarat bisa menjadi cara untuk menyempurnakan ibadah shalat yang mungkin tidak dilakukan dengan sempurna. Ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian dalam Islam, di mana lebih baik berbuat lebih daripada kurang.
Shalat kafarat bukan hanya teori, tetapi telah dipraktikkan oleh banyak ulama besar dan wali Allah. Beberapa ulama dan sufi yang dikenal rutin melaksanakan shalat ini antara lain:
Bahkan, di Masjid Zabid, Yaman, shalat kafarat ini telah menjadi amalan rutin yang dilakukan secara berjamaah.
Dalam dunia tasawuf, mengikuti amalan para ulama dan wali yang dikenal sebagai arif billah (orang yang memiliki kedekatan luar biasa dengan Allah) adalah hal yang dianjurkan. Jika mereka telah menjalankan shalat ini dengan penuh keyakinan, maka umat Islam bisa mengikuti jejak mereka sebagai bentuk keteladanan dalam ibadah.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali juga membahas kebolehan mengqadha shalat yang diragukan telah ditinggalkan. Pandangan ini semakin menguatkan dasar dari shalat kafarat, yang dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.
Bersama dengan pendapat Al-Qadhi Husain dan Al-Ghuzzi, Imam Al-Ghazali menunjukkan bahwa memperbanyak shalat qadha adalah langkah yang diperbolehkan dan bermanfaat bagi orang yang merasa ada kekurangan dalam shalatnya.
Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin menyebutkan bahwa para sufi yang tidak menemukan dalil dalam kitab syariah sering kali bertanya langsung kepada Rasulullah melalui kasyaf (penglihatan ruhani) dan mengamalkan apa yang disampaikan Rasulullah kepada mereka.
“Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syariah, mereka menghadap hatinya kepada Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi.” (Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, hlm. 43).
Ini menunjukkan bahwa pengalaman spiritual para wali Allah juga bisa menjadi hujjah dalam pelaksanaan suatu ibadah, termasuk shalat kafarat.
Dari berbagai dalil dan pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Shalat kafarat boleh dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.
Tidak ada jaminan shalat kita selalu sah, sehingga menambah ibadah sangat dianjurkan.
Diamalkan oleh para ulama dan wali Allah, yang telah menjalankannya selama berabad-abad.
Sejalan dengan prinsip qadha shalat dalam Islam, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dan Al-Qadhi Husain.
Bagi Anda yang ingin melaksanakan shalat ini, niatkan sebagai bentuk kerendahan hati dan penghambaan kepada Allah. Jangan menganggapnya sebagai pengganti wajib qadha shalat yang benar-benar pernah ditinggalkan, tetapi sebagai pelengkap untuk menyempurnakan ibadah kita.
Semoga Allah menerima setiap usaha kita dalam beribadah. Wallahu a’lam.
Sumber Online:
NU Online. (2023). Penjelasan Lengkap Shalat Kafarat pada Jumat Terakhir Ramadhan. Diakses dari: https://www.nu.or.id
Bagaimana menurut Anda? Apakah tertarik untuk melaksanakan shalat kafarat? Yuk, bagikan pendapat Anda!
Tinggalkan Komentar