Setiap wanita Muslim pasti mengalami haid atau menstruasi dalam siklus tertentu. Namun, tahukah kamu bahwa haid memiliki aturan khusus dalam ibadah, termasuk dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan?
Ketika seorang wanita sedang haid, ia dilarang berpuasa, tetapi wajib mengqadha (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di hari lain setelah Ramadhan. Namun, bagaimana cara menghitung jumlah puasa yang harus diganti? Apakah ada batas waktunya? Mari kita bahas secara lengkap dalam artikel ini!
Larangan berpuasa bagi wanita haid bukanlah sekadar aturan tanpa alasan. Rasulullah SAW sendiri yang menegaskan hal ini dalam haditsnya:
“Kami (para wanita) mengalami haid pada masa Rasulullah SAW, kemudian kami suci. Lalu beliau memerintahkan kami untuk mengqadha puasa, tetapi tidak memerintahkan kami mengqadha shalat.” (HR. At-Tirmidzi).
Dari hadits ini, jelas bahwa puasa wajib diganti, sementara shalat yang ditinggalkan saat haid tidak perlu diganti. Ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan kepada wanita Muslim.
Setiap wanita memiliki siklus haid yang berbeda. Oleh karena itu, cara menghitung qadha puasa pun menyesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Jika seorang wanita memiliki siklus haid yang teratur, misalnya 7 hari setiap bulan, maka ia cukup mengganti puasa sebanyak 7 hari setelah Ramadhan berakhir.
Bagaimana jika jumlah hari haid berubah-ubah setiap bulan? Dalam hal ini, wanita tersebut harus menghitung jumlah hari haid terbanyak yang pernah ia alami dalam satu bulan Ramadhan.
Contoh:
Ada juga kasus di mana haid terjadi dua kali dalam satu bulan Ramadhan. Dalam situasi ini, wanita tersebut tetap harus mengganti puasa sebanyak total hari haid yang dialaminya, asalkan jumlahnya tidak melebihi batas maksimal haid, yaitu 15 hari.
Contoh:
Jika haid berlangsung lebih dari 15 hari, maka sisanya dihitung sebagai darah istihadhah (darah penyakit), dan wanita tetap wajib berpuasa serta shalat seperti biasa.
Mengqadha puasa harus dilakukan sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Jika seorang wanita menunda qadha puasa tanpa alasan yang sah hingga Ramadhan berikutnya tiba, maka ia harus membayar fidyah (memberi makan orang miskin) selain tetap mengganti puasa yang ditinggalkan.
Namun, jika ada uzur syar’i seperti sakit berkepanjangan atau kehamilan, maka kewajiban qadha tetap berlaku, tetapi tanpa harus membayar fidyah.
Jika haid datang di tengah hari puasa, maka puasa tersebut otomatis batal. Wanita tersebut wajib berhenti berpuasa segera, meskipun haid baru keluar beberapa menit sebelum waktu Maghrib.
Sebaliknya, jika seorang wanita suci setelah fajar, maka puasa tetap tidak sah, tetapi ia dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan Ramadhan.
Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin:
“Ketika seorang wanita melihat darah haid, maka ia wajib meninggalkan puasa dan shalat. Sebaliknya, jika ia suci setelah terbit fajar, maka disunnahkan baginya untuk tetap berpantang dari hal-hal yang membatalkan puasa meskipun puasanya tidak sah.”
Mengqadha puasa adalah kewajiban, bukan pilihan. Oleh karena itu, bagi setiap wanita Muslim yang mengalami haid selama Ramadhan, jangan lupa untuk mengganti puasa sebelum datangnya Ramadhan berikutnya.
Agar lebih mudah, catat jumlah hari haid setiap bulan dan segera qadha setelah Ramadhan berakhir. Jika memungkinkan, selesaikan qadha lebih awal agar tidak menumpuk dan tidak perlu membayar fidyah.
Semoga artikel ini membantu menjawab pertanyaan seputar haid dan puasa. Jika masih ada yang kurang jelas, jangan ragu untuk bertanya kepada ustadz atau ahli fiqih terdekat. Wallahu a’lam.
Sumber:
NU Online. (2024). Haid saat Puasa, Bagaimana Ketentuan Qadhanya? NU Online.
Tinggalkan Komentar