Pertempuran Surabaya: Awal Kebangkitan Semangat Kemerdekaan Indonesia
Pertempuran Surabaya pada 1945 bukan sekadar pertempuran biasa, melainkan simbol dari semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terjadi di Surabaya antara 27 Oktober hingga 20 November 1945, pertempuran ini adalah yang pertama antara tentara Indonesia dan Sekutu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Berawal dari insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato oleh pemuda-pemuda Indonesia, pertempuran ini mencapai puncaknya pada 10 November 1945. Meskipun pada akhirnya pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Britania Raya berhasil menduduki kota, Pertempuran Surabaya menjadi simbol nasional perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme. Setiap tahun, 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan untuk mengenang pengorbanan mereka yang gugur demi kemerdekaan.
Latar Belakang Pertempuran Surabaya
Pada 1 Maret 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda setelah tentara Belanda menyerah di Kalijati. Tiga tahun kemudian, tepatnya 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu setelah dua bom atom menghantam Hiroshima dan Nagasaki. Saat kekosongan kekuasaan berlangsung, Sukarno dan Mohammad Hatta memanfaatkan momen ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Namun, kedatangan tentara Britania pada 15 September 1945 di Jakarta, dan 25 Oktober 1945 di Surabaya, membawa situasi yang semakin memanas. Pasukan Britania ini tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Namun, tentara Britania juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan kolonial Belanda yang dikenal dengan nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang bertujuan mengembalikan status Indonesia sebagai jajahan.
Insiden Hotel Yamato: Awal Perseteruan
Insiden ini menjadi pemicu utama Pertempuran Surabaya. Pada 18 September 1945, sekelompok orang Belanda yang dipimpin oleh Mr. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda di atas Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit) tanpa persetujuan Pemerintah RI. Bendera ini dianggap sebagai bentuk penghinaan, dan para pemuda Surabaya bereaksi dengan menurunkan bendera tersebut, merobek bagian birunya, dan menaikkannya kembali sebagai bendera Merah Putih.
Insiden ini memicu kemarahan rakyat Surabaya dan menandai dimulainya pertempuran pertama antara rakyat Indonesia dan tentara Britania pada 27 Oktober 1945. Konflik ini terus bereskalasi hingga puncaknya pada 10 November 1945, setelah tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, komandan Britania untuk Jawa Timur, dalam insiden tembak-menembak di Jembatan Merah.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby dan Ultimatum 10 November
Tewasnya Mallaby pada 30 Oktober 1945 mengakibatkan tentara Britania semakin agresif. Mayjen Eric Carden Robert Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum yang meminta agar semua pejuang Indonesia menyerahkan senjata mereka dan menghentikan perlawanan. Ultimatum ini dianggap penghinaan oleh rakyat Surabaya yang telah membentuk berbagai organisasi perjuangan. Mereka menolak untuk menyerahkan senjata dan memilih bertahan melawan pasukan Britania.
Pada pagi hari 10 November 1945, pasukan Britania melancarkan serangan besar-besaran ke seluruh penjuru kota Surabaya, dengan bantuan pesawat tempur, tank, dan kapal perang. Walaupun persenjataan dan taktik mereka jauh lebih canggih, semangat para pejuang Indonesia tidak surut. Dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Bung Tomo, KH. Hasyim Asy’ari, dan KH. Wahab Hasbullah, rakyat Surabaya bertempur habis-habisan dengan semangat semboyan “Merdeka atau Mati!”
Perlawanan Rakyat Surabaya
Pada masa itu, masyarakat Surabaya lebih tunduk pada pimpinan para kyai dan ulama. Oleh karena itu, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama lainnya turut menggerakkan masyarakat untuk ikut melawan Sekutu. Bahkan para santri turut turun ke jalan, membawa senjata tradisional dan berperan sebagai milisi. Walau tidak memiliki persenjataan modern, kekuatan spiritual dan patriotisme yang membara membuat mereka bertahan menghadapi serangan besar-besaran dari pasukan Britania.
Pertempuran berlangsung sengit selama tiga minggu. Setiap hari, Surabaya dibombardir dari udara dan darat, menyebabkan banyak korban jiwa dan kehancuran infrastruktur kota. Namun, setiap kali Sekutu menyerang, pasukan Indonesia tetap mempertahankan kota, dengan semangat juang yang terus berkobar.
Dampak Pertempuran Surabaya
Pertempuran ini menimbulkan korban besar bagi kedua belah pihak. Dari pihak Indonesia, diperkirakan antara 6.300 hingga 15.000 orang gugur, sementara dari pihak Britania, setidaknya 500 prajurit tewas atau terluka. Sekitar 200.000 penduduk sipil mengungsi, meninggalkan kota yang telah hancur lebur.
Walaupun pada akhirnya Surabaya jatuh ke tangan pasukan Britania, Pertempuran Surabaya berhasil menarik perhatian dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Untuk Britania, pertempuran ini menjadi pelajaran besar yang membuat mereka mempertimbangkan sikap netral dalam konflik antara Belanda dan Indonesia. Bahkan, beberapa tahun kemudian, Britania secara resmi mendukung kemerdekaan Indonesia di forum internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pertempuran Surabaya adalah peristiwa penting yang bukan hanya mencerminkan semangat perjuangan rakyat Indonesia, tetapi juga menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak akan mundur dalam mempertahankan kemerdekaannya. Keberanian para pemuda, ulama, dan tokoh-tokoh revolusioner seperti Bung Tomo menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Setiap 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai penghormatan kepada mereka yang telah gugur dalam pertempuran ini, menjadikan Pertempuran Surabaya sebagai tonggak perjuangan kemerdekaan yang mengobarkan semangat bangsa untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Tinggalkan Komentar