Moderasi Beragama dalam Hubungan Sesama Muslim
Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester ( UTS )
Mata Kuliah : PAI Berbasis Moderasi Beragama
Dosen Pengampu : Helina Apriyani, M.Pd
Disusun Oleh :
Nama : Muhammad Hafiz Ansyari
NIM : 2281130346
Kelas : A7
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JARAH JAUH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
UIN SIBER SYEKH NURJATI CIREBON 2024
Segala puji bagi Allah swt, berkat rahmat dan segala nikmatnya-Nya jualah sehingga Alhamdulillah saya diberikan kelancaran dalam menulis makalah yang berjudul “Moderasi Beragama dalam Hubungan Sesama Muslim”
Semoga Allah swt senantiasa bershalawat dan bersalam kepada junjungan kita Baginda Muhammad saw. Beserta keluarga, para sahabat yang ikhlas nan setia dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengn baik sampai hari kiamat.
Penyusunan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas ujian tengah semester (UTS) mata kuliah PAI Berbasis Moderasi Beragama yang diampu oleh Ibu Helina Apriyani, M.Pd Dalam makalah ini saya uraikan berbagai hal terkait masalah tentang Moderasi Beragama dalam Hubungan Sesama Muslim.
Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada Ibu Helina Apriyani, M.Pd selaku dosen Mata Kuliah PAI Berbasis Moderasi Beragama, yang telah sudi memberikan sebagian ilmunya kepada kami selaku mahasiswa terutama untuk saran perbaikan makalah kami ini, semoga semua kebaikan beliau akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda, amin.
Dalam penulisan makalah ini tentu terdapat banyak kesalahan baik secara struktural penulisan maupun isi materi yang diuraikan didalamnya. Semua saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan penulisan pada masa yang akan datang.
Banjarmasin, 14 April 2024
Penyusun
1.3 Tujuan Penulisan/masalah. 2
2.1 Konsep Moderasi Beragama dalam Islam.. 3
2.2 Implementasi Praktik Moderasi Beragama dalam Hubungan Sesama Muslim.. 6
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik Moderasi Beragama di dalam Komunitas Muslim 11
2.4 Kontribusi Praktik Moderasi Beragama dalam Memperkuat Persatuan dan Solidaritas Umat Islam 13
3.1 Toleransi dan Penghargaan Terhadap Perbedaan. 14
3.2 Dialog Antar Sesama Muslim.. 16
3.3 Upaya Konkret dalam Mempromosikan Moderasi Beragama. 17
3.4 Penerapan Moderasi Beragama dalam Kehidupan Sehari-hari 18
Pada zaman modern ini, kompleksitas hubungan antar sesama Muslim semakin meningkat seiring dengan berbagai dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di dunia. Globalisasi, perkembangan teknologi, dan interaksi antarbudaya telah membawa dampak yang signifikan dalam pola hubungan di antara umat Islam. Di tengah-tengah dinamika ini, penting untuk memperhatikan praktik moderasi beragama sebagai salah satu aspek kunci dalam menjaga hubungan yang harmonis dan penuh penghargaan di antara sesama Muslim.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadi sorotan penting dalam konteks moderasi Islam. Moderasi dalam agama bukan sekadar menjadi ciri Indonesia sebagai negara yang moderat, melainkan sebuah prinsip dalam pemahaman agama yang mengakui dan menghormati keberagaman dalam segala aspek kehidupan, termasuk agama, budaya, dan adat istiadat.
Keragaman agama di Indonesia menjadi salah satu faktor utama yang membentuk radikalisme, yang bisa disebabkan oleh sensitivitas dalam praktik keagamaan, pengaruh kelompok ekstrem dari luar negeri, serta masalah politik dan pemerintahan. Oleh karena itu, konsep moderasi beragama muncul sebagai upaya untuk memahami agama secara kontekstual dan menghadapi tantangan radikalisme dengan respons yang lantang namun damai.
Dalam menghadapi tantangan ini, umat Islam saat ini dihadapkan pada dua ekstrem: pertama, bersikap ekstrim dan ketat dalam pemahaman agama yang kadangkadang mengarah pada kekerasan dan paksaan; kedua, bersikap santai dan mengikuti pemikiran negatif dari budaya dan peradaban lain. Moderasi dalam Islam merupakan jawaban untuk menyeimbangkan kedua ekstrem ini.
Keberagaman adalah fitrah yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan, termasuk dalam agama, budaya, dan adat istiadat. Dalam menghadapi keberagaman ini, pendidikan Islam yang moderat dan inklusif menjadi senjata yang efektif untuk mencegah bentrokan dan radikalisme. Islam Wasathiyah, atau Islam Tengah, mencerminkan prinsip-prinsip moderasi yang meliputi keseimbangan, toleransi, keadilan, dan kreativitas.
Harapannya, konsep moderasi ini dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, membawa Indonesia menuju arah yang lebih baik dengan menghormati keberagaman, mencegah diskriminasi, dan menciptakan rasa aman dan nyaman bagi semua warganya.
Dalam konteks yang semakin kompleks ini, terdapat beberapa pertanyaan yang muncul terkait dengan praktik moderasi beragama dalam hubungan sesama Muslim, antara lain:
1.2.1 Apa pengertian moderasi beragama dalam Islam?
1.2.2 Bagaimana moderasi beragama dapat diimplementasikan dalam hubungan sesama Muslim?
1.2.3 Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi praktik moderasi beragama di dalam komunitas Muslim?
1.2.4 Apa kontribusi praktik moderasi beragama dalam memperkuat persatuan dan solidaritas umat Islam?
Tujuan dari makalah ini adalah untuk:
1.3.1 Menganalisis konsep moderasi beragama dalam Islam.
1.3.2 Menjelaskan implementasi praktik moderasi beragama dalam hubungan sesama Muslim.
1.3.3 Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi praktik moderasi beragama di dalam komunitas Muslim.
1.3.4 Menyampaikan kontribusi praktik moderasi beragama dalam memperkuat persatuan dan solidaritas umat Islam.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konsep moderasi beragama dalam Islam.
1.4.2 Memberikan panduan praktis bagi individu dan lembaga untuk menerapkan praktik moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari.
1.4.3 Membantu dalam membangun kesadaran akan pentingnya toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, dan dialog antar sesama Muslim.
1.4.4 Mendorong terciptanya hubungan yang harmonis dan saling mendukung di antara umat Islam.
Kata “moderasi” memiliki asal bahasa Latin, yaitu “moderatio”, yang secara harfiah berarti “sedang” atau “tidak berlebihan dan tidak kekurangan”. Dalam konteks yang lebih luas, moderasi juga mencakup pengendalian diri, yakni sikap untuk tidak berlebihan maupun tidak kekurangan dalam tindakan atau pendekatan terhadap suatu hal. Ini mencerminkan prinsip kesederhanaan dan keseimbangan dalam bertindak atau berpikir (RI, Moderasi Beragama, 2019).
Menurut definisi yang disampaikan oleh Kementerian Agama melalui bukunya yang berjudul “Moderasi Beragama”, moderasi beragama merujuk pada kepercayaan yang mantap terhadap substansi atau esensi ajaran agama yang dianut, sambil tetap membuka diri untuk berbagi kebenaran seputar interpretasi agama tersebut. Dengan kata lain, moderasi beragama mencerminkan penerimaan, keterbukaan, dan kerjasama antar kelompok agama yang berbeda. Dalam bahasa Inggris, konsep moderasi sering disebut sebagai “moderation”, yang sering kali diartikan sebagai rata-rata, inti, baku, atau tidak berpihak. Secara umum, moderasi mengacu pada upaya untuk mencapai keseimbangan dalam keyakinan, moralitas, dan perilaku. Ini menunjukkan pentingnya memprioritaskan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan yang berkaitan dengan agama (RI, Moderasi Beragama, 2019).
Moderasi beragama (wasatiyyah) merupakan prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang menekankan pentingnya keseimbangan, toleransi, dan kesederhanaan dalam berbagai aspek kehidupan. Konsep ini terdapat dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW yang menekankan pentingnya menjauhi ekstremisme dan fanatisme serta menghargai perbedaan dalam keyakinan dan praktik keagamaan.
Secara mendasar, prinsip moderasi sebenarnya telah diajarkan oleh Islam dan tercermin dalam Al-Quran. Dalam Al-Quran, istilah moderasi disebut sebagai AlWasathiyyah. Namun demikian, terdapat perdebatan tentang pemahaman moderasi ini dalam konteks kekinian. Kata “al-wasathiyyah” berasal dari kata kerja “wasatha”, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai karakteristik terpuji yang menghindarkan seseorang dari perilaku ekstrem. Istilah ini berasal dari kata “al-wasth” (dengan huruf sin yang disukun-kan) dan “al-wasath” (dengan huruf sin yang difathah-kan), keduanya merupakan bentuk isim mashdar dari kata kerja “wasatha”. Dengan demikian, konsep Wasathiyyah dalam Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan menghindari sikap ekstrem dalam berbagai aspek kehidupan. Ini mencerminkan ajaran Islam yang menghargai keseimbangan, toleransi, dan tengah-tengah dalam tindakan serta pemikiran umatnya (Abror, 2020).
Dari pengertian dasar “wasathiyyah” dalam kamus-kamus bahasa Arab, terdapat dua pemahaman utama tentang konsep ini secara etimologis: Pertama, sebagai kata benda yang lebih bersifat konkret, “wasathiyyah” mengacu pada peran sebagai penghubung atau perantara antara dua hal, dua kondisi, atau dua sisi yang berlawanan. Kedua, sebagai konsep yang lebih bersifat abstrak, “wasathiyyah” mengandung makna keadilan, pilihan, keutamaan, dan kesempurnaan (Abror, 2020). Menurut Syekh Raghib al-Ashfahani (w.502 H), “wasathiyyah” memiliki makna sebagai titik tengah, tidak terlalu cenderung ke arah yang ekstrem ke kanan (ifrâth) atau ke kiri (tafrîth). Dalam konsep ini terkandung makna kemuliaan, kesetaraan, dan keadilan (al-„adl). Dengan kata lain, “wasathiyyah” menekankan pentingnya menjaga keseimbangan, menghindari ekstremisme, dan menerapkan prinsip keadilan dalam berbagai aspek kehidupan (al-Ashfahani, 1992).
Menurut ulama besar Syekh Yusuf Al-Qardhawi, konsep “wasathiyyah” yang juga dikenal sebagai “at-tawâzun” mengacu pada upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi atau sudut yang berlawanan atau bertolak-belakang. Tujuannya adalah agar tidak ada yang mendominasi atau menekan yang lain. Sebagai contoh, beberapa pasangan sisi yang berlawanan adalah spiritualisme dan materialisme, individualisme dan sosialisme, pemikiran yang realistis dan yang idealis, dan lain sebagainya. Dalam menghadapi dualitas semacam ini, sikap yang seimbang adalah memberikan porsi yang adil dan proporsional kepada setiap sisi atau pihak tanpa berlebihan, baik dalam hal memberikan perhatian maupun dalam mengambil tindakan (Al-Qardhawi, 1983).
Orang yang adil akan selalu berusaha menjaga keseimbangan dan berada di tengah saat menghadapi dua situasi atau masalah. Kata “wasath” dalam bahasa Arab menunjukkan bagian tengah dari dua ujung sesuatu, dan memiliki makna yang baik. Seperti yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, “Sebaik-baik urusan adalah yang berada di tengah-tengahnya.” (Syaibah & Bakr, 1994). Orang yang berada di posisi tengah cenderung terlindungi dari kesalahan atau cacat yang biasanya menimpa orang yang berada di ujung atau pinggir. Pada dasarnya, sifat-sifat baik adalah hasil dari penengahan atau perpaduan dua sifat buruk. Sebagai contoh, sikap suka berbagi merupakan perantara antara boros dan kikir, sedangkan keberanian menengahi antara kecerobohan dan ketakutan (Abror, 2020).
Jika dilihat dari pengertian tersebut, dalam Islam sebenarnya tidak ada ruang untuk ekstremisme dan radikalisme. Sebab, Islam mengajarkan prinsip keadilan dan keseimbangan. Dalam interaksi dengan agama lain, Islam menerapkan prinsip tegas namun sopan, bahwa setiap orang memiliki agamanya masing-masing dan itu harus dihormati, sesuai dengan firman Allah SWT: “Untuk kalianlah agama kalian dan untukkulah agamaku” (Surah Al-Kafirun, ayat 6) (RI, Al-Quran, 2019). Dengan demikian, konsep toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan agama sudah tertanam dalam ajaran Islam (Abror, 2020).
Agama Islam mengajarkan bahwa perbedaan antara manusia, baik dari segi budaya, etnis, suku, maupun keyakinan, adalah sesuatu yang alami dan ditetapkan oleh Tuhan. Tujuannya adalah untuk memungkinkan interaksi dan saling pengenalan di antara mereka. Keberagaman merupakan bagian dari kehidupan sosial yang tak terhindarkan, terutama di Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti “Meskipun berbeda-beda, namun tetap satu” (Abror, 2020).
Moderasi beragama menjadi strategi penting dalam melestarikan keberagaman budaya dan keindonesiaan kita. Sebagai negara yang sangat beragam, Indonesia telah berhasil mewujudkan kesatuan dalam keberagaman melalui Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila berhasil menyatukan semua kelompok etnis, bahasa, suku, budaya, dan agama. Meskipun Indonesia bukan negara berbasis agama, namun agama tetap menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dipadukan dengan nilai-nilai adat dan kearifan lokal, bahkan beberapa hukum agama diakui oleh negara untuk memastikan pelaksanaan ritual agama dan budaya berjalan dengan damai dan harmonis (Abror, 2020).
Moderasi beragama tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar agama, tetapi juga meliputi hubungan antar sesama umat Islam sendiri. Salah satu ajaran Islam yang sangat penting terkait dengan moderasi adalah menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim, yang dalam bahasa Arab disebut ukhuwah islamiyah. Ikatan persaudaraan ini terbentuk bersamaan dengan pengucapan dua kalimat syahadat, yang menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ketika seseorang telah menyatakan iman, maka ia menjadi saudara bagi setiap Muslim lainnya. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat [49]: 10: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Ayat ini menjelaskan tentang persaudaraan atau ukhuwah islamiyah. Persaudaraan yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah persaudaraan berdasarkan hubungan darah atau perkawinan, melainkan persaudaraan berdasarkan iman. Orang-orang yang beriman dipersatukan oleh keyakinan yang sama (Azis, et al., 2019).
Orang-orang mukmin, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW, ibarat satu tubuh yang solid dalam kasih sayang. Jika salah satu anggota tubuh merintih kesakitan, maka seluruh tubuh akan merasakan panas dan demam. Hal ini menggambarkan betapa eratnya persaudaraan di antara mereka. Jika seorang mukmin atau sekelompok mukmin mengalami kesulitan, maka mukmin yang lain seharusnya ikut merasakan dan berempati. Islam mendorong umatnya untuk menerapkan nilai persaudaraan ini dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam diharapkan dapat merasakan penderitaan saudaranya seagama, dan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan mereka untuk meringankan beban dan kesulitan yang dialami saudaranya tersebut. Inilah makna sejati dari ukhuwah islamiyah (Azis, et al., 2019).
Ayat ke-10 dalam surat Al-Hujurat memerintahkan umat Islam untuk mendamaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama orang yang beriman. Perintah ini merupakan konsekuensi dari ikatan persaudaraan di antara mereka. Mendamaikan dapat berarti bertindak sebagai penengah di antara pihak yang berselisih. Perintah untuk berdamai ditujukan kepada orang beriman yang terlibat perselisihan, bukan hanya kepada pihak yang berupaya mendamaikan. Artinya, ayat ini menyerukan kepada pihak ketiga yang bertugas untuk mendamaikan perselisihan di antara sesama orang beriman, serta berlaku juga bagi kedua belah pihak yang berselisih. Tujuannya adalah untuk memperbaiki hubungan antara sesama saudara seiman yang sedang berselisih. Bahkan jika seseorang yang beriman tidak mematuhi perintah agama atau melakukan kesalahan, mereka tetap diharapkan menjaga persaudaraan dengan sesama orang beriman. Ayat tersebut juga menekankan pentingnya bertakwa atau takut kepada Allah sebagai syarat untuk mendapatkan rahmat-Nya dalam segala urusan. Dalam tafsir Al-Wajiz, perintah untuk bertakwa dalam konteks persaudaraan ini mengacu pada perlunya bertakwa kepada Allah SWT ketika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat mengenai hukum-hukum-Nya (Azis, et al., 2019).
Perbedaan pendapat di antara umat Islam memang tidak mungkin terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW, perbedaan pendapat sudah sering terjadi di kalangan sahabat. Namun, keberadaan Nabi Muhammad SAW memungkinkan para sahabat untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut melalui sabda dan keputusan beliau yang didasarkan pada bimbingan langsung dari Allah SWT. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, memang terjadi banyak perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Bahkan Rasulullah sendiri telah memprediksi bahwa sepeninggal beliau hingga akhir zaman, akan terjadi banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu, beliau memberikan pesan agar umat Islam, dalam menyikapi perbedaan tersebut, merujuk kepada ajaran, praktik, dan ketetapan yang telah disampaikan, dipraktikkan, dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW serta sunnah para sahabatnya, terutama Khulafaur Rasyidin atau empat pemimpin yang menggantikan Nabi (Azis, et al., 2019).
Nabi Muhammad SAW memberikan contoh tentang cara menghadapi perbedaan pendapat ketika beliau masih hidup. Ketika dalam perjalanan dari Perang Khandaq, beliau mendapat perintah Allah SWT untuk menuju perkampungan Bani Quraidhah, dan beliau memerintahkan para sahabat untuk tidak shalat Ashar sebelum sampai di sana. Namun, ketika waktu shalat tiba di tengah perjalanan, ada perbedaan pendapat di antara para sahabat. Beberapa mengabaikan perintah tersebut dan melaksanakan shalat Ashar, sementara yang lain memilih untuk menunggu sampai di tempat tujuan. Ketika hal ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad SAW, beliau memilih untuk tidak menyalahkan atau menegur siapa pun dari para sahabat tersebut. Beliau membiarkan perbedaan pendapat itu, menunjukkan bahwa perbedaan dalam pemahaman agama adalah hal yang wajar dan sah-sah saja. Nabi juga membenarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut. Dari kisah ini, dapat ditarik pembelajaran bahwa dalam Islam, jika tindakan seseorang didasarkan pada ijtihad yang sungguhsungguh, itu tidak pantas untuk dikafirkan atau dianggap sebagai dosa. Para sahabat yang memilih untuk shalat atau memahami perintah Nabi secara harfiyah dianggap sebagai pendahulu ahli qiyas yang mempertimbangkan maksud dari ucapan Nabi. Sementara yang lain yang memilih untuk menunggu sampai di tempat tujuan dianggap sebagai pendahulu ahli zhahir yang berpegang pada teks secara harfiyah. Diamnya Nabi menunjukkan bahwa kedua pendapat tersebut dapat dibenarkan (Azis, et al., 2019).
Setiap individu harus yakin dengan keyakinan agamanya, namun itu tidak berarti menafikan pandangan atau interpretasi yang berbeda, terutama dalam masalah yang masih diperdebatkan atau tidak terkait dengan pokok-pokok agama. Dalam menanggapi perbedaan pendapat, ada sebuah kalimat yang sangat terkenal dari Imam Syafi’i yang sering dikutip oleh para ulama di lingkungan pondok pesantren: “Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Sementara pendapat yang lain salah, tapi bisa jadi benar.” Ini menunjukkan bahwa para ahli fikih meyakini kebenaran pendapat mereka, namun dengan rendah hati mereka menyadari bahwa mungkin ada kesalahan di dalamnya. Para ulama tidak menutup peluang untuk adanya kebenaran di luar pendapat mereka sendiri dengan pernyataan ini. Perbedaan pendapat atau khilafiyah seharusnya tidak menjadi alasan untuk merusak persaudaraan sesama muslim. Tidak boleh ada kelompok yang merasa paling benar dan menyalahkan kelompok lain. Jika seseorang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, maka dia boleh melakukan ittiba’ atau mengikuti pendapat yang diyakininya dengan pengetahuan dan pemahaman yang cukup. Sebagai bagian dari tugas seorang muslim adalah mempelajari ajaran agama dengan lebih baik. Dalam konteks ittiba’ tersebut, seorang muslim tidak diperbolehkan melakukan taklid buta atau mengikuti tanpa pemahaman, karena kewajiban menuntut ilmu agama berlaku sepanjang hidupnya. Sikap taklid buta juga bertentangan dengan ajaran Allah SWT yang mengingatkan kita untuk tidak mengikuti hal yang tidak kita ketahui. Dengan demikian, penting bagi setiap muslim untuk terus belajar dan mendalami agama dengan penuh pemahaman, dan tidak mengambil keputusan tanpa pengetahuan yang memadai (Azis, et al., 2019).
Dalam Etika Pergaulan Sesama Muslim, terdapat beberapa prinsip penting yang harus dipegang teguh (Azis, et al., 2019):
Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda adalah bagian dari adab pergaulan muslim. Ini mencakup memberikan penghargaan kepada yang lebih tua dan memberikan bimbingan dengan lemah lembut kepada yang lebih muda.
Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, muslim dapat membangun hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang dalam komunitas mereka.
Beberapa faktor yang memengaruhi praktik moderasi beragama di dalam komunitas Muslim meliputi:
Kesadaran beragama seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam dirinya maupun dari luar. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, seperti kepribadian dan motivasi. Motivasi sangat penting karena memengaruhi cara individu bertindak, apakah dengan usaha keras atau tidak (Hariandja & Efendi, 2002). Motivasi adalah faktor dalam diri individu yang dapat memunculkan, menjaga, dan mengarahkan perilaku menuju tujuan tertentu (Caplin, 2001). Motivasi sangat terkait dengan kekuatan internal yang dimiliki manusia (Sapuri, 2008).
Faktor motivasional dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari dalam diri sendiri, sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari luar diri individu namun mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupannya (Hezberg, 2009). Motivasi spiritual merupakan salah satu jenis motivasi yang saat ini memberikan kontribusi positif bagi kehidupan manusia. Ini adalah dorongan yang mendorong seseorang untuk mentaati, tunduk, dan patuh terhadap nilainilai moral, serta ajaran agama (Hasanah, Menejemen Bimbingan Agama Islam dalam Meningkatkan Adversity Quotient dan Motivasi Spiritual Penderita Vitiligo, 2012). Motivasi spiritual adalah dorongan yang muncul dari kesadaran moral dan rasa takut kepada Tuhan, yang mendorong individu untuk melakukan yang baik dan mencegah yang buruk. Hal ini timbul dari refleksi keagamaan dan pengalaman pribadi yang mendalam (Cairns & Neckerman, 1988). Motivasi spiritual merupakan kebutuhan yang esensial bagi setiap individu beragama, yang menjadi faktor internal penentu dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Motivasi ini berperan sebagai penyeimbang dalam struktur kepribadian seseorang (Sapuri, 2008).
Faktor eksternal adalah hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti lingkungan sosial seperti keluarga, teman, sekolah, dan sebagainya. Dukungan sosial, salah satu bentuk interaksi dan perhatian dari lingkungan sosial, merupakan cara untuk memberikan dukungan kepada individu dalam kelompok tertentu (Hasanah).
Kementerian Agama sedang aktif mempromosikan penguatan moderasi beragama dalam beberapa tahun terakhir. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama periode 2014-2019, mengidentifikasi tiga alasan mengapa moderasi beragama sangat penting. Pertama, ia mencatat bahwa beberapa praktik keagamaan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang seharusnya agama sebaliknya. Agama seharusnya mendorong inklusivitas, bukan eksklusivitas. Kedua, terdapat interpretasi agama yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang kuat, menyebabkan keyakinan yang mungkin salah dan berpotensi menyesatkan. Ketiga, ia menyoroti bagaimana ekspresi agama tertentu dapat merusak kesatuan bangsa dengan politisasi agama dan sikap mayoritarianisme. Lukman Hakim Saifuddin berharap bahwa pendidikan Islam, terutama di Kementerian Agama, akan memimpin dalam mempraktikkan moderasi beragama. Dia juga menekankan bahwa Indonesia memiliki kekayaan dalam keberagaman etnis dan agama, yang harus dijadikan modal untuk memperkuat moderasi beragama. Semua agama pada dasarnya menyuarakan sikap moderat, yang berpusat pada nilai-nilai kebaikan dan perdamaian. Maka, penting bagi bangsa Indonesia untuk menganut sikap keberagaman yang menghargai konsep moderasi, tanpa memandang agama masing-masing (Khoeron, 2021).
Indonesia tidak hanya memiliki keberagaman dalam jumlah penduduknya, tetapi juga dalam hal bahasa, adat istiadat, agama, dan ras. Meskipun ada banyak perbedaan, Indonesia tetap harus mempertahankan kesatuan dalam keberagaman ini. Negara ini dianggap sebagai rumah bagi masyarakat multikultural karena kekayaan budaya dan keberagaman etnisnya. Konsep multikulturalisme menekankan pentingnya prinsip moralitas dan otoritas negara dalam membentuk kontrak sosial. Keberagaman pemikiran dan perilaku juga merupakan ciri khas dari masyarakat multikultural. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu menerapkan nilai-nilai seperti toleransi agar bisa menyatukan berbagai pandangan dan pendapat (Putri, 2021)
Indonesia, sebagai negara yang religius, mencerminkan hal ini melalui Pancasila, yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Kebebasan beragama dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29, yang memastikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memeluk agamanya masingmasing. Agama diakui secara hukum di Indonesia, termasuk Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, meskipun ada keberagaman agama, hal ini tidak menghalangi persatuan bangsa karena diakui sebagai hak asasi manusia.
Terkini, kita menyaksikan kritik terhadap kehidupan beragama di Indonesia, terutama karena konflik agama dalam masyarakat. Dari penodaan agama hingga tindakan terorisme, kekerasan dan intoleransi dapat memecah belah persatuan bangsa. Sentimen agama yang tajam bisa merusak hubungan dan kekompakan bangsa. Kita menyadari bahwa dalam masyarakat global, seringkali manusia dibenci karena alasan seperti etnis, agama, atau jenis kelamin. Hal-hal seperti pakaian, agama, atau identitas lainnya dapat menjadi penghalang bagi penghargaan terhadap keberagaman.
Namun, dalam menjaga keseimbangan, moderasi beragama adalah kunci. Ini berarti menerima nilai-nilai yang sejalan dengan agama dan budaya, sambil bijaksana menolak yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Dalam konteks globalisasi, ini penting untuk mempertahankan identitas dan nilai-nilai bangsa. Penerimaan dan penolakan yang bijaksana harus digunakan dalam menghadapi isu seperti perilaku LGBT, yang harus diperlakukan dengan hormat tanpa mengabaikan nilai-nilai agama dan budaya.
Moderasi beragama berfungsi sebagai penyatuan semangat keagamaan dan patriotisme. Toleransi beragama harus dijadikan kekuatan pemersatu di seluruh negeri. Untuk mencapai cita-cita luhur bangsa, seperti peradaban yang tinggi, keamanan, toleransi tanpa kekerasan, perdamaian, dan kemakmuran, kita perlu menjunjung tinggi moderasi beragama dalam memperkuat keutuhan NKRI (Azahra & Slam, 2022).
Praktik moderasi beragama memiliki kontribusi yang signifikan dalam memperkuat persatuan dan solidaritas umat Islam, antara lain:
Dari segi asal katanya, “toleran” berasal dari bahasa Inggris, yaitu “toleration” yang mengandung makna toleransi. Dalam bahasa Arab, istilahnya adalah
“altassamuh”, yang merujuk pada sikap tenggang rasa, kesabaran, dan membiarkan.
Secara terminologis, toleransi mengacu pada memperbolehkan orang lain untuk melakukan hal sesuai dengan kepentingan masing-masing (Jamrah, 2015).
Dalam lingkup sosial, budaya, dan agama, toleransi menggambarkan sikap serta tindakan yang menentang diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat (Amalia & Nanuru, 2018).
Dalam realitas kehidupan, konflik merupakan hal yang tak terhindarkan dan memiliki sifat kreatif. Namun, konflik bisa diselesaikan tanpa resort ke kekerasan, dengan melibatkan partisipasi dari semua pihak yang terlibat. Bahkan, konflik bisa menjadi instrumen untuk membangun kerukunan. Konflik diperlukan untuk menyadarkan akan adanya masalah, mendorong perubahan yang positif, dan memperbaiki solusi, sehingga meningkatkan kesadaran sosial. Dalam kehidupan berkelompok, toleransi sangat penting karena berkontribusi pada pembangunan harmoni (Fitriani, 2020).
Essensi dari toleransi sebenarnya adalah upaya untuk kebaikan, terutama dalam konteks pluralitas agama, dengan tujuan mencapai kerukunan, baik di dalam agama maupun antara agama. Jurhanuddin, seperti yang dikutip oleh Amirulloh Syarbini, menggarisbawahi bahwa tujuan dari kerukunan antar umat beragama terbagi menjadi empat poin:
Toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan merupakan salah satu aspek penting dari praktik moderasi beragama dalam hubungan sesama Muslim. Ini melibatkan kemampuan untuk menghormati keyakinan, praktik ibadah, dan pandangan yang berbeda-beda di antara sesama Muslim tanpa menghakimi atau memaksakan pendapat. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa keragaman adalah bagian alami dari umat Islam dan merupakan anugerah Allah yang perlu dihargai dan dipelihara.
Dialog antar sesama Muslim merupakan sarana yang efektif untuk memperkuat hubungan dan mempromosikan moderasi beragama. Melalui dialog, individu dapat saling berbagi pemahaman, pengalaman, dan pandangan mereka tentang agama serta mencari pemahaman bersama tentang nilai-nilai yang saling menguntungkan. Dialog yang dilakukan dengan penuh penghargaan dan ketulusan dapat membantu mengatasi mispersepsi dan konflik yang mungkin timbul di antara sesama Muslim.
Dialog antar sesama Muslim dapat dilakukan dalam berbagai konteks, termasuk dalam lingkungan keluarga, komunitas, tempat ibadah, tempat kerja, dan lembaga pendidikan. Penting untuk menciptakan suasana yang terbuka dan inklusif di mana setiap individu merasa dihargai dan didengar.
Dalam dialog antar sesama Muslim, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain:
Di berbagai belahan dunia, telah ada upaya-upaya konkret untuk mempromosikan praktik moderasi beragama dalam komunitas Muslim. Ini mencakup program-program pendidikan agama yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, kegiatan sosial yang melibatkan partisipasi lintas kelompok, dan advokasi untuk hak asasi manusia serta keadilan sosial. Melalui upaya-upaya ini, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang kondusif untuk praktik moderasi beragama yang berkelanjutan.
Kementerian Agama menjadikan promosi moderasi beragama sebagai fokus utama dalam kebijakannya. Berbagai strategi dilakukan secara rasional dan sistematis untuk memastikan bahwa sikap dan perilaku beragama yang moderat menjadi bagian dari karakter dan semangat kebangsaan dan negara. Meskipun wacana moderasi telah lama ada dan telah diimplementasikan secara individu, namun hal tersebut menjadi dasar dalam menerapkan moderasi beragama dalam skala yang lebih luas. Kementerian Agama menerapkan kebijakan untuk menanamkan nilai-nilai luhur melalui berbagai program pembinaan keluarga, mulai dari penyuluhan, pembimbingan di Kantor Kementerian Agama, hingga layanan di Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat kecamatan (Taufiq & Alkholid, 2021).
Strategi Kementerian Agama dalam menerapkan moderasi beragama juga melibatkan surat edaran untuk mendirikan rumah moderasi beragama di setiap universitas. Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor B3663.1/Dj.I/BA.02/01/2019 yang diterbitkan pada tanggal 29 Oktober 2019 mengenai Edaran Rumah Moderasi Beragama merupakan langkah untuk menghadapi penyebaran paham radikal yang luas. Ini menunjukkan fokus dan konsistensi Kementerian Agama dalam menerapkan moderasi beragama di berbagai sektor, terutama di lingkungan perguruan tinggi Islam (Agama, 2019).
Kementerian Agama juga memiliki strategi untuk memperkuat moderasi beragama di beberapa Perguruan Tinggi, khususnya di wilayah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Langkah-langkah ini meliputi penyelenggaraan Ma’had AlJami’ah di lingkungan PTKI sebagai salah satu upaya. Selain itu, untuk dosen-dosen yang mengajar mata kuliah umum tanpa latar belakang pendidikan agama Islam, perlu diadakan program penguatan keislaman agar mereka mampu menyampaikan nilai-nilai moderasi beragama. Program kesinambungan yang mendukung moderasi beragama juga perlu diterapkan di lingkungan PTKI. Tidak hanya itu, penguatan pada kajian Islam yang mengarah pada usaha tafaqquh fi ad-diin (memahami agama secara mendalam) sebagai inti dari kegiatan di PTKI dianggap penting. Selain itu, diperlukan penguatan terkait metodologi studi Islam dalam melakukan reformulasi kurikulum di beberapa kampus PTKI. Hal ini bertujuan untuk memperkuat kembali mata kuliah seperti tasawuf, sejarah peradaban Islam, dan upaya dalam pembaruan dalam wacana Islam (Taufiq & Alkholid, 2021).
Moderasi beragama menekankan pentingnya sikap saling menghormati dan toleransi di antara berbagai kelompok agama. Ini mengandung prinsip bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih dan mengamalkan agamanya tanpa tekanan atau intimidasi dari pihak lain. Selain itu, moderasi beragama juga mendorong dialog dan kerja sama antara kelompok agama, serta mengakui bahwa semua agama memiliki prinsip-prinsip yang serupa dalam membangun kebaikan dan keadilan.
Berikut adalah lima cara menerapkan konsep moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari:
Terakhir, penting untuk mengeksplorasi cara-cara di mana individu dapat menerapkan nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Ini melibatkan kesadaran akan pentingnya menghormati perbedaan, mempraktikkan toleransi dalam interaksi sehari-hari, serta aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang mempromosikan dialog dan kerjasama antar sesama Muslim.
Dengan memperhatikan berbagai aspek dalam isi ini, diharapkan dapat terbentuk pemahaman yang lebih komprehensif tentang praktik moderasi beragama dalam hubungan sesama Muslim dan bagaimana hal tersebut dapat diimplementasikan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa praktik moderasi beragama memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga hubungan yang harmonis dan penuh penghargaan di antara sesama Muslim. Konsep moderasi beragama dalam Islam menekankan pentingnya keseimbangan, toleransi, dan kesederhanaan dalam berbagai aspek kehidupan. Implementasi praktik moderasi beragama melibatkan toleransi terhadap perbedaan, dialog antar sesama Muslim, dan upaya konkret dalam mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama di dalam komunitas Muslim.
Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran dapat diajukan untuk meningkatkan praktik moderasi beragama dalam hubungan sesama Muslim:
Abror, M. (2020). MODERASI BERAGAMA DALAM BINGKAI
TOLERANSI:Kajian Islam dan Keberagaman. RUSYDIAH : Jurnal Pemikiran Islam, 143-155.
Agama, K. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Kemenag RI.
al-Ashfahani, R. (1992). Mufradat Alfazh Al-Qur‟an. Beirut:: Dar Al-Qalam.
Al-Qardhawi, Y. (1983). Al-Khasais al-Ammah li al-Islam. Beirut: al-Muassasah al Risalah.
Amalia, A., & Nanuru, R. F. (2018). Toleransi Beragama Masyarakat Bali, Papua, Maluku. Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam.
Azahra, S., & Slam, Z. (2022). MODERASI BERAGAMA UNTUK PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA INDONESIA. SOSHUMDIK, 81-94.
Azis, A. A., Masykhur, A., Anam, A. K., Muhtarom, A., Masudi, I., & Duryat, M.
(2019). IMPLEMENTASI MODERASI BERAGAMA DALAM PENDIDIKAN
ISLAM. Jakarta: Kelompok Kerja Implementasi Moderasi Beragama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.
Cairns, R., & Neckerman. (1988). Social Network and Aggressive Behavior: Peer Support or Peer Rejection. Developmental Psychology Journal.
Caplin, J. P. (2001). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press.
Fitriani, S. (2020). Keberagaman dan Toleransi Antar Umat Beragama. Analisis:
Jurnal Studi Keislaman, 179-192.
Hariandja, M., & Efendi, T. (2002). Menejemen Suber Daya Manusia. Jakarta:
Grasindo.
Hasanah, H. (2012). Menejemen Bimbingan Agama Islam dalam Meningkatkan Adversity Quotient dan Motivasi Spiritual Penderita Vitiligo. Semarang: Fakultas Dakwah dan Komunikasi, IAIN Walisongo.
Hasanah, H. (n.d.). FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK KESADARAN BERAGAMA ANAK JALANAN. SAWWA.
Hezberg, F. (2009). Frederick Hezberg’s Motivation and Hygien Factors. Retrieved from http://busunessballs. com: http://busunessballs. com/Hezberg. html
Jamrah, S. A. (2015). Toleransi Antar Umat Beragama: Perspektif Islam. Jurnal Ushuluddin.
Khoeron, M. (2021, Mei 2). Ini Tiga Kecenderungan Penyebab Pentingnya Moderasi Beragama. Retrieved from kemenag.go.id: https://kemenag.go.id/moderasiberagama/ini-tiga-kecenderungan-penyebab-pentingnya-moderasi-beragamab7aprr
Khotimah. (2013). Toleransi Beragama. Jurnal Ushuluddin, 2013.
Putri, N. M. (2021). Peran Penting Moderasi Beragama Dalam Menjaga Kebinekaan Bangsa Indonesia., (pp. 12-18).
Redaksi. (2023, Maret 14). 5 CARA MENGAPLIKASIKAN MODERASI BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI. Retrieved from uinsgd.ac.id:
https://uinsgd.ac.id/5-cara-mengaplikasikan-moderasi-beragama-dalamkehidupan-sehari-hari/
RI, K. A. (2019). Al-Quran.
RI, K. A. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Sapuri, R. (2008). Psikologi Islam: Tuntunan Jiwa Manusia Modern. Jakarta: Rajawali Press.
Syaibah, A., & Bakr. (1994). Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (III ed.).
Taufiq, F., & Alkholid, A. M. (2021). Peran Kementerian Agama dalam mempromosikan moderasi beragama di era digital. Jurnal Ilmu Dakwah.
Tinggalkan Komentar