Hari itu, di tengah panasnya udara kelas yang hanya dibantu kipas angin tua, seorang guru berdiri di depan papan tulis. Ia bukan ASN. Ia bukan pegawai tetap. Tapi ia hadir setiap hari. Membuka pelajaran, memeriksa PR, menghibur murid yang sedih, bahkan kadang membeli kapur tulis dengan uang sendiri.
Di sekolah sebelah, seorang guru lain sedang menyiapkan bahan ajar digital. Ia guru ASN, fasilitasnya lengkap, gajinya lancar, pelatihannya rutin. Tapi kalau bicara soal semangat mengajar? Sama besarnya. Sama tulusnya.
Lalu kenapa masih ada jarak yang begitu nyata di antara mereka?
Diskriminasi di profesi guru bukan cerita baru. Tapi itu bukan alasan untuk membiarkannya terus terjadi. Di negeri ini, guru dibagi dalam sekat-sekat: ASN dan non-ASN. Di bawah Kemendikbud atau Kemenag. Mengajar di sekolah umum, madrasah, atau pesantren. Seolah-olah ada kasta dalam dunia pendidikan.
Padahal, apa bedanya?
Semuanya berdiri di depan kelas. Semuanya mengajar anak-anak bangsa. Semuanya berjuang, bukan hanya untuk menyampaikan materi, tapi menanamkan nilai, membentuk karakter, dan membuka masa depan.
Namun perbedaan nasib tetap mencolok.
Guru non-ASN bisa mendapat honor seratus ribu sebulan. Guru pesantren sering tidak punya akses pelatihan yang layak. Banyak dari mereka digaji tak setimpal, tidak punya perlindungan kerja, dan minim pengakuan.
Mereka tidak butuh dipuja. Tapi mereka layak diperlakukan adil.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya seremonial. Ini momen refleksi. Kita bicara soal “merdeka belajar”, tapi guru-gurunya belum merdeka dari diskriminasi. Kita angkat slogan “pendidikan untuk semua”, tapi tak semua pendidik mendapatkan keadilan.
Mungkin sudah saatnya kita ubah cara pandang.
Bahwa guru bukan soal status. Bukan soal kementerian. Bukan soal label.
Guru adalah mereka yang mengabdi untuk mencerdaskan.
Guru adalah mereka yang tak pernah lelah mendidik, meski dunia sering lupa menghargai.
Guru adalah satu. Titik.
Untuk itu, kita butuh perubahan nyata:
Karena pendidikan yang adil tidak mungkin tercapai tanpa memperlakukan para pendidik secara adil pula.
Di setiap keberhasilan anak-anak negeri ini, ada peluh dan sabar guru—yang tak pernah menanyakan status muridnya. Lalu mengapa kita masih mengotak-kotakkan mereka?
Di Hardiknas ini, mari bersuara bersama.
Hapus diskriminasi. Satukan guru. Muliakan semua pendidik.
Karena mereka semua sedang berjuang untuk kita.
Untuk Indonesia.
Tinggalkan Komentar