Di sebuah kota yang tenang namun terus bergerak seperti Banjarmasin, berdiri banyak madrasah dengan semangat yang sama: mendidik generasi penerus yang cerdas dan berakhlak. Salah satunya adalah Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Nor Rahman. Madrasah ini, seperti banyak lainnya, bukanlah lembaga besar dengan fasilitas mewah. Namun satu hal pasti—ia berada di persimpangan penting: memilih antara berjalan biasa atau mulai berubah menuju mutu yang lebih tinggi.
Perjalanan menuju mutu pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dalam semalam. Ia tidak datang dari proyek instan atau program luar yang tiba-tiba hadir lalu menghilang. Justru, mutu itu tumbuh dari dalam. Dari cara kepala madrasah memimpin, dari cara guru bekerja sama, dari bagaimana orang tua merasa terlibat. Dan semua itu berawal dari satu keputusan: memulai sekarang.
Di setiap madrasah, keberhasilan tak lepas dari peran kepala madrasah. Ia bukan sekadar pengurus administrasi. Ia adalah arah. Ia adalah contoh. Ia adalah yang pertama datang dan terakhir pulang, bukan hanya secara fisik, tapi secara tanggung jawab.
Ketika kepala madrasah menetapkan visi, itu bukan sekadar tulisan di dinding. Ia menjadi kompas yang menuntun semua langkah: program belajar, pengembangan guru, bahkan cara bicara di rapat. Visi itu yang membuat guru tahu ke mana harus mengajar, dan murid tahu mengapa mereka belajar.
Namun visi saja tidak cukup. Harus ada sistem. Harus ada keberanian untuk menata ulang. Mulai dari hal-hal yang sederhana: evaluasi hasil belajar, membina guru dengan pendekatan suportif, mencatat kekuatan dan kelemahan madrasah lalu menyusunnya menjadi rencana tahunan yang jelas dan terukur.
Salah satu prinsip utama dalam peningkatan mutu pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Ia bukan teori asing. Ia adalah praktik yang menempatkan madrasah sebagai pusat pengambilan keputusan. Artinya, setiap perubahan dimulai dari madrasah itu sendiri—bukan dari surat edaran, bukan dari atas, tapi dari bawah.
Dengan MBS, madrasah diberi ruang untuk menyusun rencana sesuai kebutuhan lokalnya. Guru-guru diberdayakan. Komite sekolah tidak hanya hadir saat rapat, tapi juga dilibatkan dalam merancang program. Evaluasi bukan sekadar pengawasan, melainkan alat refleksi bersama. Semua pihak merasa menjadi bagian dari perjalanan, bukan sekadar penonton.
Program bisa selesai. Budaya tidak. Budaya adalah ketika mutu menjadi kebiasaan. Ketika guru mulai berdiskusi bukan karena perintah, tapi karena ingin saling belajar. Ketika kepala madrasah mulai menyapa guru bukan karena agenda, tapi karena ingin tahu perkembangan mereka. Ketika siswa merasa belajar itu menyenangkan, bukan beban.
Untuk menuju ke sana, perlu waktu. Tapi langkah-langkah kecil bisa dimulai hari ini:
Semua itu tidak butuh biaya besar. Yang dibutuhkan hanya keberanian untuk mencoba dan konsistensi untuk melanjutkan.
Tidak ada madrasah yang berdiri sendiri. Ia dikelilingi oleh masyarakat. Maka, menjalin komunikasi dengan orang tua bukan sekadar kewajiban administratif. Itu adalah kunci. Ketika orang tua merasa dipercaya dan diajak bicara, mereka akan mendukung. Ketika guru merasa dihargai dan dilibatkan, mereka akan berkembang. Ketika murid merasa dilihat, mereka akan tumbuh.
Madrasah bukan hanya tempat belajar, ia adalah rumah kedua. Dan rumah yang baik adalah rumah yang penghuninya saling percaya dan saling mendukung.
Tidak ada madrasah yang langsung hebat. Semua yang besar pernah memulai dari kecil. Semua yang maju pernah berjalan terseok. Tapi mereka memilih untuk tidak diam. Mereka memilih untuk bergerak.
Jika sebuah madrasah ingin berubah, ingin mandiri, ingin tumbuh—maka sekarang adalah saat yang tepat untuk memulainya. Bukan nanti, bukan tunggu program, bukan setelah fasilitas lengkap. Tapi sekarang, dengan apa yang ada, dari siapa yang ada.
Karena pada akhirnya, sekolah hebat tidak dibentuk oleh keadaan. Sekolah hebat dibentuk oleh keberanian untuk mulai berubah.
Tinggalkan Komentar