MI NOR RAHMAN NEWS – Kerajaan Kepangeranan Pulau Laut dan Pulau Sebuku dengan dependensinya, setelah bergabung dengan Hindia Belanda disebut Landschap Pulau Laut dan Pulau Sebuku adalah Landschap atau suatu wilayah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda.
Wilayah tersebut disebut kerajaan pulau laut yang didirikan Pangeran Djaija Samitra, yang memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah yang sekarang disebut desa Sigam. Wilayah kerajaan ini terdiri atas Pulau Laut dan Pulau Sebuku di lepas pantai bagian tenggara pulau Kalimantan (sekarang Kabupaten Kota Baru).
Sebelumnya pusat kerajaan ini berada di daerah aliran sungai Kusan di Tanah Bumbu selatan, di tenggara Kalimantan Selatan yang disebut Kerajaan Kusan, setelah dipindah ke pulau Laut, rajanya bergelar Raja Pulau Laut I. Raja-raja Kusan dan raja-raja Pulau Laut merupakan trah Sultan Sulaiman dari Banjar. Raja-raja di daerah ini bergelar Pangeran atau Ratu (untuk wanita), karena daerah ini sebenarnya merupakan cabang dari Kesultanan Banjar. Anak-anak raja Pulau Laut disebut Gusti (laki-laki) dan Putri (wanita).
Catatan tertua tentang pemerintahan “kerajaan” di Pulau Laut seperti dituliskan Gooh Yon Fong, dalam tulisannya tentang perdagangan dan politik di Banjarmasin tahun 1700-1747. Gooh Yon Fong memaparkan, pada masa pemerintahan Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663), yang kemudian berhasil merebut kembali tahta keduanya dari kekuasaan Sultan Surianata (1663-1679) dan Sultan Amarullah Bagus Kusuma meneruskan pemerintahan Kesultanan Banjar dari 1680-1700, terdapat tokoh Pangeran Purabaya yang menyusun kekuatan di Pulau Laut sebagai daerah basis perjuangannya untuk menggulingkan Sultan Amarullah Bagus Kusuma. Berdasarkan sumber tersebut Pulau Laut pernah berada di bawah kekuasaan Pangeran Purabaya (sebelum tahun 1700).[3] Pangeran Purabaya, mantan Menteri di masa pemerintahan rezim sebelumnya yang telah digulingkan. Dia keturunan Karaeng Karunrung (Abdul Hamid ?) dari Makassar.
Pada 13 Agustus 1787, raja Banjar sultan Tahmidillah 2 (Sunan Nata Alam) menyerahkan pulau Laut kepada penguasaan VOC Belanda. Pulau Laut ini dahulu merupakan sebagian dari wilayah Kesultanan Banjar.
Penguasa pulaut Laut: Da’ud Ibn Abas (disebutkan dalam tahun 1786 – 1792) Kontrak tahun 1797
” Bahwa adalah Kompeni menguasakan atas sesuka hati Tuan Sultan dalam tempo jang tersebut hal kadar hingganja itu dari menetapkan kepala2 atau mentjabut pada tiap2 negeri2 dan desa2 jang takluk tachta keradjaan Tuan Sultan Bandjar semuanja jang lain dari tanah Pasir dan Laut Pulau jang dikeluarkan dari djumlahnja itu melainkan mana baik jang dikehendaki Tuan Sultan djuga akan kepala2 dalam itu sekalian tempat2 itu jang memeliharakan tiada boleh siapa jang lain memeliharakan tiada boleh siapa jang lain masuk perduli dan jang iktiradhkan dalam perintah Tuan Sultan djua adanja.”
Menurut Kontrak Perjanjian tahun 1797, Laut Pulo (Pulau Laut) diserahkan kembali kepada Kesultanan Banjar (Sultan Sulaiman Saidullah 2), karena dalam perjanjian tahun 1787 pernah diserahkan kepada VOC Belanda oleh Sunan Nata Alam.
Belanda kalah menghadapi Inggris dan pada tahun 1811 Belanda menyerahkan Batavia kepada East India Company (EIC), perusahaan perdagangan Inggris. East India Company (EIC) mengadakan perjanjian persahabatan dengan kesultanan Banjar. Dalam perjanjian itu EIC-Inggris tidak menyinggung masalah kedaulatan pemerintahan Sultan Sulaiman tetapi lebih banyak masalah perdagangan. EIC Inggris menduduki beberapa daerah yang sebelumnya diduduki Belanda seperti pulau Tatas (Banjarmasin), Kuin, Paser, Pulau Laut, Pagatan, dan Bakumpai.
Kontrak Perjanjian Karang Intan I tanggal 1 Januari 1817 (12 Safar 1232 H)
” Tuan Sultan kasih sama radja Wolanda itu Pulau Lodji Tatas dan benteng2 Kuin dan negeri Dajak Besar Ketjil dan negeri Mendawai dan negeri Sampit dan negeri Kuta Waringin dan negeri Sintang dan negeri Lawei dan negeri Djelai dan negeri Bakumpai dan negeri Tabanio dan negeri Pegatan sama Pulau Laut dan negeri Pasir dan negeri Kutei dan negeri Barau sama dia punja rantauan.”
Dalam Kontrak Perjanjian Karang Intan I pada tanggal 1 Januari 1817 bertepatan 12 Safar 1232 Hijriyah (Besluit 29 April 1818, No. 4), pada masa kekuasaan Raja Banjar Paduka Sri Sultan Sulaiman al-Mu’tamid ‘Alâ Allâh menyerahkan wilayah Pulau Laut kepada Hindia Belanda yang diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5]
Kontrak Perjanjian Karang Intan II tanggal 13 September 1823 M (7 Muharam 1239 H)
” Perkara lima dan kontrak lama dibuang tiada boleh pakai lagi melainkan dipakai bagaimana ganti dibawah ini. Paduka Sri Sultan salinkan kepada radja Holanda jang masjhur antero Pulau Tatas dan Kween sampai disubarang kiri Antasan Ketjil lagi tanah Lawai dan Djelai dan Sintang dan Tabonio dan Pagatan dan Pulau Laut dan Kota Waringin dan Pasir dan Kutai dan Berau dengan semuanja dia punja rantauan2 adanja. Dan lagi Tuan Sultan salinkan begitu djuga separo dari Tanah Pembuang dan Mendawai dan Sampit dan Dajak-besar dan Dajak ketjil dan Bakumpai dan Dusun adanja. Tetapi lagi geburmin salinkan kepada tuan Sultan separo dari tanah semuanja jang geburmin sudah ambil dengan paduka Sri Sultan punja bermintaan dari tangan tuan Hire jang punja dahulu namanja Maluka dan Laut Kuru dan Liang Anggang dengan dia punja rantauan semuanja sampai di Tandjung Selatan dan disebelah timur sampai antara pegangan Pagatan dan Pasir adanja.”
Dalam Kontrak Perjanjian per tanggal 13 September 1823 M bertepatan 7 Muharam 1239 Hijriyah, pada masa kekuasaan Raja Banjar Paduka Sri Sultan Sulaiman al-Mu’tamid ‘Alâ Allâh menyerahkan wilayah Pulau Laut kepada Hindia Belanda yang diwakili Residen Mr. Tobias.
Perjanjian ini disahkan 21 Oktober 1823 oleh Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen, penguasa Hindia Belanda pertama yang memerintah di Hindia setelah dikuasai oleh Kerajaan Inggris selama beberapa tahun. Ia memerintah antara tanggal 19 Agustus 1816 – 1 Januari 1826. G.A.G.Ph. van der Capellen merupakan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-41.
Kontrak Perjanjian Tanggal 4 Mei 1826 (26 Ramadan 1241 H)
” Sri Paduka Sultan Adam salinkan kepada radja dari Nederland segala negeri jang tersebut dibawah ini: Pulau Tatas dan Kuin sampai di subarang kiri Antasan Ketjil dan pulau Burung mulai dari kuala Bandjar subarang kanan sampai di Pantuil dan di Pantuil subarang pulau Tatas lantas ke timur Rantau Kuliling dengan segala sungai2nja Kelajan Ketjil Kelajan Besar dan kampung jang di subarang pulau Tatas sampai di sungai Messa di ulu kampung Tjina lantas ke darat sampai di sungai Baru sampai di sungai Lumbah dan pulau Bakumpai mulai dari kuala Bandjar subarang kiri mudik sampai di kuala Andjaman di kiri milir sampai kuala Lopak dan segala tanah Dusun semuanja desa2 kiri kanan mudik ka ulu mulai Mengkatip sampai terus negeri Siang dan di ilir sampai di kuala Marabahan dan tanah Dajak Besar Ketjil dengan semuanja desa2nja kiri kanan mulai di kuala Dajak mudik ka ulu sampai terus ke ilir sungai Dajak dengan segala tanah di daratan jang takluk padanja dan tanah Mendawai Sampit Pembuang semuanja desa2nja dengan segala tanah jang takluk padanja dan tanah Kutaringin Sintang Lawey Djelei semuanja desa2nja dengan segala tanah jang takluk padanja. Dan Taboniou dan segala tanah Laut sampai di Tandjung Silatan dan ke timur sampai watas dengan Pagatan dan ka oetara sampai di kuala Maluka mudik sungai Maluka Selingsing Lijang Anggang Banju Irang lantas ke timur sampai di gunung Pamaton sampai watas dengan tanah Pagatan dan negeri jang di pasisir timur Pagatan Pulau Laut Batu Litjin Pasir Kutai Barau semuanja dengan tanah2 jang takluk padanja”.
Dalam Kontrak Perjanjian per tanggal 4 Mei 1826 bertepatan 26 Ramadan 1241 Hijriyah (Besluit 29 September 1826 No. 10.), pada masa kekuasaan Raja Banjar Paduka Sri Sultan Adam al-Wäthiq billäh menyerahkan wilayah Pulau Laut kepada Hindia Belanda.
Kontrak ini kemudian disahkan oleh De Kommissaris Generaal van Nederlandsch Indie Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies pada tanggal 26 September 1826.[5]
Wilayah kerajaan Pulau Laut merupakan salah satu daerah Kesultanan Banjar yang diserahkan oleh Sultan Adam dari Banjar kepada kolonial Hindia Belanda melalui Perjanjian Karang Intan. CONTRACT MET DEN SULTAN VAN BANDJERMASIN 4 Mei 1826. / B 29 September 1826 No. 10, Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan dearah-daerah di Kalimantan termasuk Pulau Laut kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda, seperti yang tertulis dalam pasal 4.
Raja Pulau Laut
Pangeran Purabaya (rival Sultan Amarullah Bagus Kasuma, raja Banjar)
Raja Pulau Laut I: Pangeran Jaya Sumitra bin Pangeran Haji Musa. Pangeran Jaya Sumitra saudara sebapak Pangeran Abdul Kadir (1850-1861)
Raja Pulau Laut II: Pangeran Abdul Kadir bin Pangeran Haji Musa. Pangeran Abdul Kadir saudara sekandung Pg. Muhammad Nafis (penguasa Batulicin sepeninggal Aji Landasan).[8] Ia memerintah mulai 1 Januari 1861 sampai 1873. Pada tahun 1849 ia menikahi Aji Tukul/Ratu Intan II/Ratu Agung[9][10]
Raja Pulau Laut III: Pangeran Berangta Kasuma bin Pg Abdul Kadir (1873-1881)
Raja Pulau Laut IV: Pangeran Amir Husin Kasuma bin Pg. Berangta Kasuma(1881-1900)
Penjabat Raja Pulau Laut: Pangeran Abdurrahman Kasuma bin Berangta Kasuma (10 Januari 1900 – 7 Januari 1903)
Penjabat Sementara Raja Pulau Laut: Pangeran M. Aminullah Kasuma bin Pg. Amir Husin Kasuma ( 7 Januari 1903 – 3 April 1903), Kerajaan Pulau Laut dihapus, dimasukan langsung ke dalam Pemerintahan Hindia Belanda
Tinggalkan Komentar