Pendahuluan
Tauhid merupakan inti dari ajaran Islam, menjadi pondasi utama yang harus dipahami oleh setiap Muslim. Bab pertama dari kitab “Kifayatul ‘Awam” karya Syaikh Muhammad al-Fudholi memberikan penjelasan mendalam mengenai pentingnya ma’rifat atau pengenalan akan 50 akidah yang wajib diketahui. Artikel ini membahas konsep ma’rifat, taklid, dan hukum akal yang menjadi pilar dalam memahami tauhid Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, disertai dengan penekanan pada penggunaan dalil yang benar untuk memperkuat keyakinan.
1. Pengertian Ma’rifat dan Dalil dalam Tauhid
Ma’rifat atau pengenalan terhadap akidah diwajibkan bagi setiap Muslim. Dalam konteks tauhid, ma’rifat mengacu pada keyakinan yang kokoh, dibangun di atas dalil yang sesuai dengan kenyataan. Para ulama tauhid memiliki pandangan berbeda mengenai dalil yang digunakan untuk menuju makrifat, yaitu melalui dua jenis dalil:
- Dalil Ijmali (Umum): Dalil yang sulit untuk dijelaskan secara mendalam, namun dapat cukup meyakinkan.
- Dalil Tafsili (Terperinci): Dalil yang mampu dijelaskan dengan jelas dan menyeluruh.
Sebagai contoh, dalil ijmali untuk eksistensi Allah dapat dijelaskan dengan keberadaan alam semesta. Namun, dalil tafsili memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana alam menunjukkan keberadaan Tuhan melalui fakta bahwa alam ini diciptakan setelah sebelumnya tidak ada.
2. Taklid dalam Tauhid: Cukupkah?
Taklid dalam tauhid didefinisikan sebagai keyakinan terhadap 50 akidah tanpa memahami dalilnya, baik secara umum maupun terperinci. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum taklid ini:
- Pendapat Pertama: Tidak cukup bagi seorang Muslim hanya mengikuti ajaran tauhid tanpa dalil. Keyakinan tanpa dalil dianggap tidak sempurna, dan orang yang taklid akan celaka di akhirat, menurut Imam Sanusi.
- Pendapat Kedua: Bagi orang awam yang sulit berpikir mendalam, taklid dianggap cukup dan mereka tidak berdosa. Namun, bagi orang yang mampu berpikir, tetap bertaklid dianggap tidak cukup dan berdosa.
3. Hukum Akal dalam Memahami Akidah
Memahami akidah dengan hukum akal merupakan langkah penting dalam mempelajari tauhid. Hukum akal dibagi menjadi tiga:
- Wajib: Sesuatu yang mustahil tiadanya menurut akal, seperti keberadaan Tuhan.
- Mustahil: Sesuatu yang mustahil adanya, seperti Tuhan memiliki sifat lemah.
- Jaiz: Sesuatu yang memungkinkan untuk ada atau tiada, seperti seseorang memiliki atau tidak memiliki anak.
Penggunaan hukum akal dalam memahami tauhid penting karena akidah yang wajib dipahami juga harus didukung oleh akal sehat. Imam Haromain menyatakan bahwa memahami hukum akal merupakan bagian dari berakal, sehingga orang yang tidak memahaminya dianggap tidak berakal.
4. Pentingnya Dalil dalam Tauhid
Para ulama menekankan bahwa setiap Muslim yang mukallaf (orang yang sudah dewasa secara akal dan syariat) harus memahami sifat-sifat Allah dengan dalil. Sifat-sifat yang wajib diketahui antara lain:
- 20 sifat yang wajib bagi Allah seperti Wujud (ada), Qidam (tanpa permulaan), dan Baqo’ (tanpa akhir).
- 20 sifat yang mustahil bagi Allah seperti Allah mustahil bersifat lemah atau diciptakan.
- 1 sifat yang jaiz bagi Allah, yaitu Allah boleh menciptakan atau tidak menciptakan sesuatu sesuai kehendak-Nya.
Selain itu, setiap Muslim juga wajib memahami sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi para rasul. Dengan memahami semua sifat ini, keyakinan kita terhadap Allah dan para rasul menjadi kokoh.
Kesimpulan
Memahami tauhid bukan hanya sekedar mengikuti ajaran tanpa memahami dasar-dasarnya. Melalui kitab “Kifayatul ‘Awam”, kita diajak untuk memahami akidah dengan dalil yang kuat, baik secara umum maupun terperinci. Dengan pemahaman yang benar, kita dapat menghindari taklid buta yang tidak sempurna dan memperkuat iman dengan keyakinan yang kokoh berdasarkan hukum akal dan dalil yang sahih.
Dibaca 148x