Pendahuluan
Setiap tahun, menjelang akhir Ramadhan, muncul perbincangan tentang sebuah amalan yang dikenal sebagai shalat kafarat atau shalat al-bara’ah. Shalat ini dilakukan pada Jumat terakhir bulan Ramadhan setelah shalat Jumat, dengan jumlah rakaat yang sama seperti shalat fardhu sehari semalam, yaitu 17 rakaat.
Sebagian umat Islam menganggap shalat ini sebagai cara untuk mengganti shalat yang mungkin pernah mereka tinggalkan tanpa sadar atau memperbaiki shalat yang kurang sempurna. Namun, ada pula yang menolak praktik ini dan menganggapnya tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Jadi, apakah shalat kafarat ini benar-benar dianjurkan atau justru sebaiknya ditinggalkan? Mari kita bahas lebih dalam.
Apa Itu Shalat Kafarat?
Shalat kafarat dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian bagi seseorang yang merasa ada kekurangan dalam shalatnya. Niatnya adalah untuk mengqadha shalat yang mungkin pernah ditinggalkan atau tidak sah.
Shalat ini terdiri dari:
- Dzuhur – 4 rakaat
- Ashar – 4 rakaat
- Maghrib – 3 rakaat
- Isya – 4 rakaat
- Subuh – 2 rakaat
Beberapa ulama menyebut bahwa shalat kafarat ini bisa mengganti shalat yang ditinggalkan seumur hidup, bahkan hingga 70 tahun. Namun, apakah benar demikian?
Pendapat Ulama: Ada yang Membolehkan, Ada yang Mengharamkan
Seperti banyak amalan lain dalam Islam, shalat kafarat juga menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan, ada yang melarang. Mari kita lihat kedua pandangan ini.
Pendapat Ulama yang Membolehkan
Beberapa ulama mendukung shalat kafarat dengan beberapa alasan:
- Pendapat Al-Qadhi Husain
Menurut Al-Qadhi Husain, jika seseorang mengqadha shalat yang ia ragu pernah ditinggalkan, maka shalat itu bisa menjadi penutup kekurangan dalam shalat fardhu atau setidaknya dianggap sebagai shalat sunnah. “Bila seseorang mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunnah.” (Hasyiyah al-Jamal, Juz 2, hlm. 27).
- Tidak Ada Jaminan Shalat Kita Selalu Sah
Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan bahwa seluruh shalat yang ia lakukan selalu sah dan sempurna. Maka, shalat kafarat dianggap sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah.
- Diamalkan oleh Para Wali dan Ulama Besar
Beberapa ulama dan wali Allah di Yaman, seperti Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakar bin Salim dan Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, secara rutin melaksanakan shalat ini dan mengajarkannya kepada murid-murid mereka.
- Dalil dari Imam Al-Ghazali
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali juga menyebutkan kebolehan mengqadha shalat yang diragukan ditinggalkan, sebagaimana diperkuat oleh Al-Qadhi Husain dan Al-Ghuzzi.
- Mengikuti Amalan Para Wali
Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani mengatakan bahwa para sufi yang tidak menemukan dalil dalam kitab syariah sering kali bertanya langsung kepada Rasulullah melalui kasyaf (penglihatan ruhani) dan mengamalkan apa yang disampaikan Rasulullah kepada mereka.
Pendapat Ulama yang Mengharamkan
Di sisi lain, ada ulama yang menolak praktik shalat kafarat dan menganggapnya sebagai ibadah yang tidak memiliki dasar. Alasan mereka adalah:
- Tidak Ada Dalil yang Kuat
Tidak ditemukan hadits yang sahih atau riwayat dari para sahabat tentang praktik shalat kafarat.
- Pengkhususan Waktu yang Tidak Berdasar
Mengkhususkan shalat ini pada Jumat terakhir bulan Ramadhan dianggap tidak memiliki dalil yang kuat dalam syariat Islam.
- Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami
Ulama besar Mazhab Syafi’i, Ibnu Hajar Al-Haitami, menyatakan bahwa keyakinan bahwa shalat kafarat bisa mengganti shalat yang ditinggalkan seumur hidup adalah haram, bahkan bisa jatuh ke dalam kategori kufur. “Tradisi shalat lima waktu di Jumat terakhir Ramadhan setelah shalat Jumat, dengan keyakinan bahwa shalat tersebut dapat menggugurkan dosa shalat yang ditinggalkan setahun atau seumur hidup, adalah haram atau bahkan kufur.” (Tuhfah al-Muhtaj, Juz 2, hlm. 457).
- Bisa Menggugurkan Kewajiban Qadha Shalat
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah bahwa umat Islam akan menganggap shalat kafarat sebagai pengganti qadha shalat yang mereka tinggalkan, padahal dalam Islam, shalat yang ditinggalkan harus diqadha satu per satu.
- Hadits tentang Shalat Kafarat Tidak Memiliki Sanad yang Jelas
Beberapa hadits yang digunakan untuk mendukung shalat kafarat dianggap lemah dan tidak bisa dijadikan dalil yang kuat.
Kesimpulan: Haruskah Kita Melakukan Shalat Kafarat?
Dari perbedaan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Jika ingin melaksanakan shalat kafarat, lakukan dengan niat kehati-hatian dan jangan menganggapnya sebagai pengganti qadha shalat.
Jika ragu atau mengikuti pendapat yang melarang, lebih baik fokus pada qadha shalat yang pasti wajib dilakukan.
Yang penting, jangan sampai perbedaan ini menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Sebab, baik yang membolehkan maupun yang melarang, keduanya memiliki dasar yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Referensi
- Al-Jamal, S. (n.d.). Hasyiyah al-Jamal (Juz 2, hlm. 27).
- Al-Haitami, I. H. (n.d.). Tuhfah al-Muhtaj (Juz 2, hlm. 457).
- Al-Tarimi, F. bin A. (n.d.). Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf.
- Al-Sya’rani, A. W. (n.d.). Tanbih al-Mughtarrin.
- Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Ihya’ Ulumuddin.
Sumber Online:
NU Online. (2023). Penjelasan Lengkap Shalat Kafarat pada Jumat Terakhir Ramadhan. Diakses dari: https://www.nu.or.id
Bagaimana menurut Anda? Apakah shalat kafarat ini layak dilakukan atau tidak? Yuk, bagikan pendapatmu di kolom komentar!
Tinggalkan Komentar