Bayangkan ini: seorang siswa duduk di bangku kelas 7 MTs, mengangguk saat guru menjelaskan, tetapi diam-diam ia tak bisa membaca buku pelajaran di depannya. Ini bukan fiksi. Ini kekhawatiran nyata.
Mungkin kita berpikir, “Ah, masa sih ada siswa MTs atau MA yang belum bisa baca tulis?” Tapi justru pertanyaan itu penting untuk kita jawab sejak dini. Karena kalau kita menunggu hingga mereka masuk MTs, itu sudah terlambat.
Guru-guru di Madrasah Ibtidaiyah (MI) punya peran strategis. Mereka adalah garda pertama yang bisa mendeteksi kesulitan membaca dan menulis. Di MI Ma’arif Pejagoan, misalnya, guru menerapkan berbagai strategi kreatif: dari penggunaan metode suku kata dengan kartu huruf, menambahkan jam belajar di luar kelas, hingga menjalin kerja sama aktif dengan orang tua. Semua itu dilakukan untuk memastikan tidak ada siswa yang tertinggal kemampuan dasarnya (Ariyanto, Subarkah, & Kartika, 2022).
Tidak hanya soal metode. Guru juga memperhatikan faktor psikologis. Ada siswa yang bisa saja paham huruf, tapi tidak percaya diri membaca di depan teman-temannya. Ada yang cerdas, tapi lingkungan rumahnya tidak mendukung untuk belajar (Ariyanto et al., 2022).
Di MI Al-Irsyad Patarikan, kesulitan membaca bisa dikenali dari hal-hal kecil: siswa sering salah mengucapkan huruf, membaca terlalu dekat, atau bahkan melewatkan baris bacaan (Indriani, n.d.). Bila ini dibiarkan, siswa akan makin tertinggal saat memasuki jenjang berikutnya.
Identifikasi dini jadi kunci. Guru harus jeli melihat siapa saja yang masih terbata-bata saat mengeja, atau kesulitan menyambung huruf menjadi kata. Tak cukup hanya mengajar, guru harus terus memantau kemajuan membaca siswa satu per satu.
Seringkali kita menyalahkan sekolah, padahal keluarga juga berperan besar. Di MI Raudhatul Ulum Parit Setia, guru yang menghadapi siswa dengan keterlambatan membaca melibatkan orang tua secara langsung—mengajak mereka mendampingi anak belajar di rumah dan menyediakan bacaan sederhana (Kurnia, Adnan, & Ridwan, 2023).
Metode multisensori juga digunakan: siswa diajak mengenali huruf dengan suara, visual, dan sentuhan. Ini efektif, terutama bagi anak yang lambat tanggap dengan metode satu arah.
Masalah membaca bukan hanya soal mengenal huruf. Di MI Mamba’us Sholihin, banyak siswa kesulitan memahami isi bacaan, bahkan tidak memperhatikan tanda baca. Hasilnya? Mereka salah intonasi, dan tentu saja salah mengerti (Kurniawati & Marzuki, 2023).
Ini bukan sekadar teknis. Kurangnya minat, rendahnya konsentrasi, dan minimnya keterlibatan keluarga menjadi faktor penghambat yang sangat nyata. Maka guru perlu menjadi pengamat, pembimbing, dan juga komunikator aktif—baik kepada siswa maupun kepada orang tua.
Jadi, sebaiknya jangan menunggu hingga siswa duduk di MTs atau MA untuk sadar bahwa ada masalah. Guru-guru MI perlu “sadar literasi” sejak awal tahun ajaran. Cek ulang. Pastikan tidak ada yang tertinggal diam-diam. Karena satu anak yang tak bisa membaca hari ini, bisa jadi remaja yang kehilangan masa depan esok hari.
Dan bila Anda guru, orang tua, atau siapa saja yang peduli: tanyakan hari ini, “Apakah anak-anak kita benar-benar bisa membaca, atau hanya kelihatan seperti bisa?”
Ariyanto, R., Subarkah, I., & Kartika, N. R. N. (2022). Upaya guru dalam mengatasi kesulitan belajar membaca permulaan siswa kelas II MI Ma’arif Pejagoan Kebumen. Tarbi: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 1(3), 259–272.
Indriani, N. (n.d.). Karakteristik kesulitan belajar membaca siswa kelas rendah di MI Al-Irsyad Patarikan. STIQ Amuntai.
Kurnia, D., Adnan, & Ridwan, Y. (2023). Upaya guru mengatasi keterlambatan membaca pada peserta didik di kelas III MI Raudhatul Ulum Parit Setia tahun pelajaran 2018/2019. Jurnal Lunggi: Jurnal Literasi Unggulan Ilmiah, 1(1), 43–50.
Kurniawati, A., & Marzuki, I. (2023). Analisis kesulitan membaca siswa kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah Mamba’us Sholihin Suci Manyar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar (JIPDAS), 3(3), 565–570. https://doi.org/10.37081/jipdas.v3i03.1561
Tinggalkan Komentar