Pentingnya sistem nilai atau etika dalam pemikiran pendidikan KH Hasyim Asy’ari adalah karena manusia ingin bertanggung jawab atas cara mereka mendidik generasi penerus agar sukses dalam kehidupan mereka, baik dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Pendidikan harus bisa mengikuti perubahan zaman agar tidak membahayakan masyarakat. Dalam konsep Islam, pendidikan harus mengarah pada dua hal: mengenal Tuhan dan memahami tindakan-Nya dalam alam semesta. Menurut KH Hasyim Asy’ari, pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia lebih taqwa kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, menegakkan keadilan, beramal saleh, dan menjadi makhluk yang mulia di mata-Nya.
Pandangan KH Hasyim Asy’ari tentang kehidupan selalu berdasarkan ajaran Islam yang berasal dari wahyu serta bukti-bukti dari Al-Quran dan Hadis, serta pendekatan spiritual melalui cara sufi. Dengan demikian, dalam menentukan tujuan pendidikan, tidak terlepas dari ideologi yang menjadi dasar pemikirannya.
Dalam kitab Adab al-Alim, KH Hasyim Asy’ari menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah:
Dari pemahaman mengenai tujuan pendidikan ini, terlihat bahwa KH Hasyim Asy’ari tidak menolak ilmu-ilmu dunia sebagai syarat untuk mencapai kebahagiaan di dunia. Namun, dia tidak secara spesifik menjelaskan seberapa besar pengetahuan dunia harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Islam.
Tentang hukum mempelajari ilmu pengetahuan, KH Hasyim Asy’ari dan Al-Ghazali memiliki pandangan yang serupa:
Menurut KH Hasyim Asy’ari, tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mengamalkannya, sehingga dapat menghasilkan manfaat yang berguna sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat nanti. Bahkan, dia menekankan bahwa agar orang yang menuntut ilmu dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat, mereka harus memperhatikan sepuluh etika, antara lain:
Dengan memperhatikan etika-etika ini, orang yang menuntut ilmu diharapkan dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat dan dapat mengamalkannya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menuntut ilmu, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, bagi murid, penting untuk memiliki niat yang murni dalam menuntut ilmu, tidak boleh berniat hanya untuk kepentingan duniawi, dan tidak boleh meremehkan atau mengabaikan. Niat ini menjadi dasar untuk segala aktivitas belajar, sehingga belajar memiliki makna yang dalam dan nilai-nilai yang mulia yang dapat membawa kita pada derajat yang lebih tinggi.
Kedua, bagi guru atau ulama, dalam mengajarkan ilmu, mereka harus memperbaiki niatnya terlebih dahulu, tidak hanya mengharapkan materi semata. Selain itu, semua yang diajarkan harus sesuai dengan tindakan dan perilaku yang dilakukan, bukan hanya sekedar mengajarkan saja. Pentingnya keikhlasan bagi murid dalam menuntut ilmu sangat ditekankan.
Dari pemikiran ini, dapat disimpulkan bahwa KH Hasyim Asy’ari sangat memperhatikan arti pentingnya menuntut ilmu. Beliau tidak hanya memperhatikan hal-hal yang bersifat normatif, tetapi juga hal-hal yang bersifat teknis. Semua ini bertujuan agar para penuntut ilmu dapat memahami betapa besar peran ilmu sebagai bekal hidup di masa depan.
Dengan mempertahankan pandangan tradisionalisme, KH Hasyim Asy’ari banyak mengadopsi tradisi pendidikan Islam klasik yang menekankan normativitas, tradisi belajar mengajar, dan etika dalam belajar mengajar. Hal ini membawa Islam ke arah zaman keemasannya. Bukti dari hal ini adalah karyanya yang merupakan risalah khusus yang membahas konsep pendidikan, terutama dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta’alim.
KH Hasyim Asy’ari merasa perlu menulis kitab tersebut karena situasi pendidikan mengalami perubahan yang cepat dari kebiasaan lama (Tradisional) menuju bentuk baru pendidikan yang diimpor oleh Belanda dan semakin menguat di Indonesia.
Pendidikan nilai adalah bagian penting dalam pendidikan. Nilai-nilai ini menjadi dorongan bagi sikap dan tingkah laku sehari-hari. Seseorang yang memahami nilai-nilai kejujuran seperti yang diajarkan oleh Islam akan cenderung bersikap jujur kepada orang lain dan kepada dirinya sendiri. Pendidikan nilai bertujuan untuk membentuk akhlak melalui proses “Knowing the good, loving the good, and acting the good”, yang melibatkan aspek kognitif, emosional, dan fisik, sehingga akhlak mulia dapat menjadi kebiasaan dalam pikiran, hati, dan tindakan.
Pendidikan akhlak perlu ditanamkan kepada peserta didik sebelum mencapai usia akhir pembentukan kepribadian pada usia 20 atau 21 tahun. Setelah usia tersebut, sangat sulit untuk memasukkan nilai-nilai baru karena harus membangun kembali kepribadian yang telah terbentuk.
Pendidikan moral sangat penting di sekolah. Pertama, pendidikan moral yang buruk dapat menghasilkan penjahat yang cerdas di masa depan. Seorang siswa yang pintar dan memiliki pengetahuan luas, tetapi moralnya rusak, dapat menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Sebagaimana yang disinyalir oleh Kartini Kartono, seorang pakar pendidikan, kesalahan dalam kegiatan mendidik seperti ini bisa menghasilkan jenis manusia yang berbahaya bagi kehidupan bersama di masa depan.
Dalam syariat Islam, pendidikan anak dari segi moral sangat diperhatikan. Ini termasuk memberikan bimbingan bernilai untuk membekali anak dengan sifat-sifat utama dan mulia, serta mendidik mereka dengan moral dan adat kebiasaan yang baik. Abdullah Nashil Alwan mengatakan bahwa pendidikan moral adalah rangkaian nilai moral, perilaku utama, dan naluri yang harus diajarkan kepada anak sejak kecil hingga dewasa. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan. Tidak diragukan lagi, keutamaan akhlak, perilaku, dan naluri adalah hasil dari iman yang tumbuh dalam perkembangan yang sehat.
Kedua, manusia adalah makhluk yang memiliki nilai moral. Pendidikan adalah proses membentuk kehidupan. Hidup bukanlah kebetulan semata, tetapi memiliki makna dan tujuan di dalamnya. Oleh karena itu, ketika seseorang belajar, itu bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan kognitif semata, tetapi juga untuk menerapkan ilmu tersebut sehingga hidupnya memiliki makna, baik secara individu maupun dalam masyarakat. Tanpa memiliki kehidupan moral yang baik, seluruh hidup seseorang menjadi tidak berarti, atau bahkan dapat menjadi sangat negatif. Untuk apa seseorang hidup dan ada di dunia jika hanya menjadi penyebab kerusakan dan kehancuran bagi masyarakat, membawa malu bagi keluarga, lingkungan, dan negara.
Ketiga, membentuk seseorang menjadi orang baik sangat sulit, tetapi sangat mudah bagi mereka untuk menjadi rusak. Jika seorang anak dibiarkan tanpa bimbingan, cenderung ia akan melakukan hal-hal yang buruk daripada yang baik. Ketika seseorang tidak mendapatkan pendidikan yang baik, mereka akan dengan cepat mengadopsi perilaku jahat, bahkan mengembangkan kreativitas negatif, daripada mencoba untuk menjadi baik. Diperlukan usaha yang besar bagi seseorang untuk mengadopsi perilaku yang baik dan mengembangkan kreativitas yang positif serta memiliki moral yang tinggi. Dibutuhkan upaya serius untuk mendidik anak-anak agar memiliki moral yang tinggi, hidup jujur, adil, mulia, suci, dan berintegritas.
Menurut Frans Magnis Susno, moral selalu berkaitan dengan baik buruknya manusia sebagai individu. Bidang moral adalah aspek kehidupan manusia yang dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral digunakan sebagai standar untuk menentukan benar atau salahnya sikap dan tindakan manusia, tidak hanya sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Ada banyak hal yang bisa dan perlu dilakukan oleh sekolah dalam pendidikan moral.
Pertama, setiap institusi pendidikan perlu memperhatikan bukan hanya keunggulan pengetahuan atau gelar guru atau dosen, tetapi juga perilaku moral mereka. Penting untuk ada mekanisme evaluasi terhadap kehidupan sehari-hari individu yang terlibat dalam pendidikan, bukan hanya kemampuan intelektual mereka.
Kedua, perlu ada penilaian terhadap perilaku di sekolah. Kenaikan kelas atau kelulusan seorang siswa tidak hanya diukur berdasarkan kemampuan intelektualnya, tetapi juga kemampuan sosial, moral, mental, dan spiritualnya. Dengan demikian, sekolah dapat menjalankan fungsi pedagogis dengan benar.
Ketiga, sekolah juga perlu secara berkala melibatkan orang tua dalam pembinaan moral dan pengawasan moral anak-anak mereka. Sekolah harus bekerja sama dengan orang tua dalam mendidik anak-anak, sehingga pendidikan anak berjalan secara terintegrasi.
Hal seperti ini sering diabaikan karena dianggap terlalu sulit bagi pihak sekolah. Mereka biasanya hanya fokus pada pengukuran kemampuan intelektual anak didik dan bangga jika anak-anak berhasil dengan nilai intelektual tinggi serta memiliki pengetahuan yang luas. Namun, paradigma ini perlu dipertanyakan dan dikembalikan kepada panggilan dasar pendidikan, yaitu membentuk anak-anak menjadi dewasa secara moral, mental, spiritual, dan intelektual.
Sebagaimana yang disinyalir oleh tokoh pendidikan Van Dusen, pendidikan di sekolah telah gagal dalam upaya menyatukan filsafat keagamaan dalam orientasi pembelajaran. Ini karena konflik antara sisi keagamaan dan sisi sekuler dalam pendidikan sekolah.
Menurut Amir, pendidikan karakter menurut konsep Islam bertujuan membentuk kepribadian etis yang memiliki ciri-ciri: (1) beribadah kepada Tuhan dengan mengikuti prinsip-prinsip iman, Islam, dan ikhlas, dan (2) memahami, menghayati, dan mengamalkan fungsi manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
Dengan demikian, pendidikan moral menurut konsep Islam adalah bagian dari pendidikan manusia secara keseluruhan, karena Islam tidak memisahkan antara yang bersifat spiritual dan yang bersifat sekuler. Islam memiliki struktur moral yang selalu terkait dengan etika, yang berkaitan dengan kemauan dan tindakan manusia.
Oleh karena itu, KH Hasyim Asy’ari sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan nilai-nilai moral dan etis, merasa bertanggung jawab untuk memberikan arahan dan nasehat yang bermakna bagi para penuntut ilmu agar memperhatikan perilaku dan karakter hidup yang didasarkan pada nilai-nilai akhlak yang mulia.
Inti dari akhlak penuntut ilmu dalam pandangan Hasyim Asy’ari adalah ibadah kepada Allah. Sikap ini akan tercermin dalam perilaku, tawakal, wara’, amal dengan mengharapkan ridha Allah semata, bersyukur, dan lain-lain. Jika nilai-nilai ini sudah tertanam dalam jiwa peserta didik, maka mereka akan memiliki rasa percaya diri, sikap optimis, dan mampu mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki secara positif, kreatif, dinamis, dan produktif.
Berikut adalah beberapa adab (etika) yang harus dimiliki oleh setiap guru atau ahli ilmu menurut pandangan Hasyim Asy’ari:
Etika guru menurut Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya kesucian hati, rendah hati, kesabaran, dan kepatuhan pada ajaran Islam dalam menjalankan tugas pendidikan.
Berikut adalah beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang guru saat mengajar, menurut pandangan Hasyim Asy’ari:
Berikut adalah beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang guru terhadap siswa, menurut pandangan Hasyim Asy’ari:
Kesimpulannya yaitu pemikiran tentang etika guru yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya menjaga sikap, etika, dan perilaku guru dalam proses belajar mengajar. Etika guru yang berlandaskan pada nilai-nilai agama (religius ethic) menjadi kunci sukses dalam pendidikan, menurut pandangan beliau. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika memiliki peran sentral dalam pendidikan yang berhasil.
Kesuksesan pendidikan hanya dapat dicapai oleh guru yang memiliki kompetensi tertentu dan menjadikan etika sebagai landasan utama dalam pembelajaran. Relevansi pemikiran etika guru oleh KH Hasyim Asy’ari mencakup empat aspek utama: etika terhadap diri sendiri, etika dalam proses belajar mengajar, etika terhadap murid, dan etika terhadap materi pembelajaran.
Dalam konteks sistem pendidikan yang terjebak dalam orientasi materialistik, pemikiran Hasyim Asy’ari menyoroti pentingnya kembali pada nilai-nilai etika dan religiusitas dalam pendidikan. Guru tidak boleh melihat pendidikan hanya sebagai wadah untuk menghasilkan materi, karena hal ini dapat menghilangkan aspek etika religius dan keberkahan dalam pendidikan.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi diri terhadap perjalanan pendidikan yang telah dilakukan, dengan merenungkan kembali ajaran Hasyim Asy’ari tentang pentingnya guru profesional yang memiliki kompetensi akademik dan etika tinggi. Namun, nilai-nilai etika tidak boleh direduksi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran haruslah dibangun atas dasar etika dan rasa hormat yang besar dari murid, serta cinta kasih yang tulus dari guru.
Dengan demikian, pendidikan yang berdasarkan pada etika akan menciptakan sikap kritis dan demokratis di antara guru dan murid, di mana eksistensi keduanya diakui secara sama-sama. Murid akan diperlakukan secara manusiawi, diberikan hak untuk menyampaikan pendapat dan mengkritik, sehingga tercipta lingkungan pembelajaran yang inklusif dan berorientasi pada nilai-nilai etika dan religiusitas (Fitri, 2023).
Fitri, Y. (2023). KONSEP ETIKA GURU MENURUT HASYIM ASY ‘ARI. EL-DARISA: Jurnal Pendidikan Islam.
Tinggalkan Komentar